MITRABERITA.NET | Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Zulfadli, mengkritik keras pernyataan Abu Mudi yang menyebutkan seharusnya Abu Mudi “meng-gitok” kepala Dek Fadh, calon wakil gubernur Aceh nomor urut 2.
Menurut Zulfadli, pernyataan Abu Mudi tersebut sangat tidak pantas dan kurang elok, terutama karena konteksnya tidak sesuai dengan prinsip saling menghargai dalam dunia politik.
Zulfadli, yang juga politisi Partai Aceh, mengatakan meskipun dukung-mendukung dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) hak pribadi setiap warga negara, ada cara-cara lebih baik dan santun dalam menyampaikan sikap politik, apalagi oleh seorang ulama sekaligus pimpinan Dayah.
“Menyatakan seharusnya saya bukan mengelus, tapi meng-gitok kepala Dek Fadh, adalah kalimat yang tidak perlu disampaikan ke publik,” ujar Zulfadli, Jumat 15 November 2024, di Banda Aceh.
Pernyataan tersebut bermula dari kunjungan Dek Fadh, ke Dayah Mudi Mesra yang didampingi anggota DPR RI, Ruslan M. Daud. Kunjungan tersebut merupakan bagian dari rangkaian silaturahmi politik dalam rangka Pilkada Aceh 2024.
Zulfadli menilai kunjungan para calon pemimpin, termasuk Dek Fadh, ke tempat-tempat seperti Dayah Mudi Mesra merupakan hal yang wajar dan lumrah dalam dinamika politik.
“Silaturahmi politik adalah hal yang biasa dalam Pilkada. Politisi pasti akan mendekati semua pihak, termasuk cendekiawan dan pimpinan pondok pesantren, untuk memperluas jaringan dan merangkul dukungan,” jelasnya.
Meskipun diketahui bahwa Abu Mudi sapaan akrab Tgk Hasanoel Bashry, telah memberikan dukungannya kepada pasangan calon lain, Zulfadli menegaskan bahwa hal tersebut tidak seharusnya menjadi alasan untuk menyampaikan pernyataan yang bisa merendahkan pihak lain.
“Semua orang tahu bahwa Abu Mudi sudah mendukung calon lain, dan Dek Fadh juga paham itu. Tapi politik tetap tentang bagaimana membangun komunikasi yang baik dan meyakinkan masyarakat dengan cara yang elegan,” katanya.
Pada kesempatan lain, saat acara peringatan Maulid Nabi di Dayah Misbahul ‘Ulum Diniyyah Al-Aziziyah (MUDA), Abu Mudi memberikan klarifikasi terkait foto yang beredar, menunjukkan dirinya mengelus kepala calon wakil gubernur Aceh, Dek Fadh.
Klarifikasi tersebut penting agar tidak ada kesalahpahaman terkait pernyataan dan tindakan yang telah terjadi. Namun, selain memberikan klarifikasi, Abu Mudi juga menambahkan komentar yang dianggap kurang pantas.
Dalam klarifikasinya, Abu Mudi mengatakan, “Tapi bak meulakee gusuk ulee. Nyan yang salah. Adak meudeh lon gitok,” yang dalam konteks budaya Aceh bisa diartikan sebagai pernyataan yang merendahkan atau menyepelekan orang lain.
Zulfadli menilai kalimat tersebut tidak sesuai dengan etika berpolitik yang baik. “Gitok ulee dalam khazanah bahasa Aceh bisa bermakna merendahkan, tidak menghargai, dan menyepelekan seseorang. Ini tidak perlu disampaikan, apalagi dalam pertemuan yang penuh keakraban dan suasana santai seperti yang terjadi antara Abu Mudi, Dek Fadh, dan Ruslan M. Daud,” tegas Zulfadli.
Zulfadli berharap kepada para tokoh politik di Aceh, termasuk Abu Mudi, menjaga sikap dan tutur kata mereka dalam setiap pernyataan publik. Ia menekankan pentingnya menjaga politik santun yang mengedepankan rasa saling menghargai dan menghormati perbedaan.
“Politik itu tentang meyakinkan rakyat dengan cara yang elegan dan mendidik. Politik yang santun akan menciptakan suasana yang sehat dan jauh dari gesekan yang tidak perlu,” tambahnya.
Ia mengingatkan bahwa dalam dunia politik, perbedaan pilihan adalah hal yang biasa, dan itu merupakan sunnatullah atau ketentuan yang tidak bisa dihindari.
Karena itu, semua pihak diharapkan bisa menampilkan cara-cara berpolitik yang penuh respek dan mengedepankan sportifitas, bukan dengan cara-cara yang menurunkan martabat pihak lain.
“Setiap orang berhak memilih calon yang mereka anggap terbaik. Tetapi kita harus selalu mengedepankan cara-cara yang baik, tidak merendahkan atau menjelekkan pihak lain. Politik yang penuh dengan penghargaan dan sopan santun adalah kunci untuk menjaga keharmonisan dalam masyarakat,” tutupnya.