MITRABERITA.NET | Aceh dikenal sebagai daerah konflik bersenjata selama puluhan tahun, dan satu-satunya daerah di Indonesia yang menerapkan syariat Islam.
Namun di balik persepsi negatif luar yang sering menimbulkan kesan eksklusif, kehidupan beragama di Tanah Rencong justru menghadirkan wajah yang damai, harmonis, dan penuh penghargaan terhadap keragaman.
Umat Kristen, Katolik, Buddha, dan Hindu di Aceh memberikan kesaksian yang sangat mengejutkan tentang Aceh yang berada di ujung barat Nusantara.
Seperti dilansir laman Kemenag.go.id, mereka dengan tegas mengaku dapat menjalankan ibadah dengan tenang, bahkan didukung oleh pemerintah serta masyarakat Aceh.
Salah satunya diungkapkan Ketua Vihara Dharma Bhakti sekaligus Ketua Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Provinsi Aceh, Fajar Saputra.
“Tinggal di Aceh bagi saya terasa sangat nyaman. Kerukunan antar umat beragama berjalan dengan baik dan dalam sejarahnya tidak pernah ada konflik agama,” ujarnya.
Sebagai informasi, Vihara Dharma Bhakti, di Aceh telah berdiri kukuh sejak 1878, menjadi saksi hidup harmoni di pusat Kota Banda Aceh, yang tak lain adalah pusat ibukota.
Selama lebih dari satu abad, vihara ini terus menjadi pusat ibadah umat Buddha. Setiap pekan, kebaktian berjamaah dan sekolah Minggu untuk anak-anak berjalan tanpa hambatan.
Bahkan, perayaan Dharma Santi Waisak rutin digelar dengan peserta mencapai 1.000 orang, bergilir di berbagai kota di Aceh.
Hal serupa dirasakan umat Kristen. Pembimas Kristen Provinsi Aceh, Samarel Telaubanua, yang sudah 26 tahun tinggal di Aceh, menyebut kehidupannya justru lebih tenteram dibandingkan daerah lain.
“Informasi dari luar sering menggambarkan Aceh menakutkan. Padahal kenyataannya aman, nyaman, dan damai,” ujarnya, dikutip MITRABERITA.NET, Senin 15 September 2025.
Saat ini, kata dia, jumlah umat Kristen di Aceh sudah mencapai 40 ribu jiwa, yang beribadah di 189 gereja yang tersebar di seluruh wilayah.
Konsentrasi terbesar berada di Aceh Tenggara dan Aceh Singkil. Hingga kini, tidak pernah ada laporan gangguan terhadap umat Kristen saat beribadah.
Pengalaman berbeda namun senada juga datang dari umat Katolik. Baron Ferryson Pandiangan, Pembimas Katolik Provinsi Aceh sejak 2011, menyebut nuansa syariat justru memperkuat kekatolikannya.
Bersama keluarga, Baron mengaku sering terlibat dalam acara adat Aceh, termasuk tepung tawar haji dan perayaan Maulid. “Nuansa syariat menguatkan iman saya,” katanya.
Kini, umat Katolik tersebar di 23 kabupaten/kota dengan 20 gereja, salah satunya Paroki Hati Kudus Yesus Banda Aceh yang tahun ini genap berusia 100 tahun.
Dari komunitas Hindu, Sahnan Ginting, Pembimas Hindu Provinsi Aceh, menuturkan kepedulian masyarakat Muslim saat renovasi kuil pasca-tsunami 2004.
“Kuil Hindu yang rusak akibat tsunami dibangun kembali dengan dukungan masyarakat Muslim dan pemerintah daerah. Mereka sering menanyakan perkembangan renovasi,” ungkapnya.
Kuil Palani Andawa, peninggalan umat Hindu Tamil sejak 1934, hingga kini masih berdiri kokoh di Banda Aceh.
Kesaksian umat Kristen, Katolik, Buddha, dan Hindu ini membuktikan Aceh bukan sekadar tanah syariat, melainkan rumah bersama yang menjunjung tinggi kerukunan.
Di tengah dunia yang masih sering diwarnai konflik identitas, Aceh justru tampil sebagai teladan harmoni yang menarik meskipun kerap digambarkan negatif oleh segelintir oknum yang anti dengan syariat Islam.
Editor: Tim Redaksi