MITRABERITA.NET | Lebih dari 650 hari sejak dimulainya serangan besar-besaran Israel ke Jalur Gaza, wilayah padat penduduk itu kini menjelma menjadi lautan reruntuhan dan puing-puing.
Data terbaru dari Kantor Media Pemerintah Gaza mencatat bahwa total kerugian ekonomi akibat agresi militer ini telah menembus angka 62 miliar dolar AS, setara dengan Rp1.012 triliun.
Jumlah yang fantastis dan mencerminkan tingkat kehancuran yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah konflik modern di Palestina.
Kerugian ini bukan hanya angka di atas kertas. Ini adalah gambaran dari hilangnya kehidupan normal bagi lebih dari dua juta penduduk Gaza.
Lebih dari 84.000 bangunan, termasuk rumah, sekolah, rumah sakit, pasar, dan fasilitas umum lainnya, telah hancur total atau rusak berat.
Sekitar 88 persen wilayah Gaza kini dinyatakan tidak layak huni. Gaza, dalam kata-kata seorang relawan LSM internasional, telah “berubah jadi gurun beton.”
“Rumah-rumah jadi reruntuhan, sekolah jadi puing. Tak ada lagi yang bisa disebut kota,” ujar sang relawan dengan nada getir.
Seperti dilansir iNews.id, salah satu sektor yang paling terdampak adalah pertanian, tulang punggung ekonomi lokal Gaza. Sekitar 92 persen lahan subur rusak atau tak bisa lagi diakses.
Infrastruktur irigasi hancur, tanah-tanah kini terkontaminasi limbah perang, dan hasilnya: produksi pangan hampir sepenuhnya berhenti. Dari sektor ini saja, kerugian ditaksir mencapai 2,2 miliar dolar AS.
Kondisi ini mendorong ketergantungan penuh terhadap bantuan internasional, di tengah blokade yang kian ketat dan distribusi yang penuh risiko.
Krisis kemanusiaan di Gaza kini mencapai titik nadir. Sistem air bersih dan listrik lumpuh total. Hanya 2 persen air bersih yang tersedia bagi lebih dari dua juta penduduk.
Lebih parahnya lagi, wabah penyakit seperti diare, hepatitis, dan infeksi kulit mewabah di kamp-kamp pengungsian akibat buruknya sanitasi.
Sementara itu, pasokan listrik hanya tersedia beberapa jam dalam sepekan. Rumah sakit bertahan hidup dengan mengandalkan generator darurat, yang kini bahan bakarnya semakin langka karena blokade Israel yang belum kunjung dicabut.
Tingkat pengangguran di Gaza kini telah melewati angka 60 persen. Ratusan ribu orang kehilangan pekerjaan dan penghidupan, mulai dari buruh hingga pemilik usaha kecil.
Anak-anak kehilangan sekolah, dan generasi muda Gaza menghadapi masa depan yang semakin tidak pasti.
Seorang ekonom Palestina dari Ramallah mengatakan, “Gaza telah kehilangan satu generasi. Sekarang bukan hanya soal pembangunan, tapi soal bagaimana menyelamatkan masa depan manusia di sini.”
Berdasarkan estimasi Bank Dunia dan UNDP, butuh lebih dari 20 tahun untuk membangun kembali Gaza, itu pun dengan syarat tidak ada konflik lanjutan dan blokade dicabut.
Editor: Tim Redaksi