MUNGKIN banyak orang yang mengetahui soal Aceh, tapi sangat sedikit orang yang menjadi saksi sejarah dan merasakan derita konflik serta liku-liku damai Aceh. Akibatnya terjadi kebijakan menyangkut Aceh, diputuskan berdasarkan arogansi kekuasaan dan ditunggangi oleh kepentingan sepihak yang dapat mengorbankan kesepakatan damai Aceh.
Seperti keputusan Mendagri Tito Karnavian, merubah kepemilikan 4 pulau yaitu Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Lipan, dari Provinsi Aceh kepada Provinsi Sumut, adalah keputusan yang sama sekali tidak memiliki pengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat, tapi membahayakan kedaulatan negara.
Tentunya keputusan mendagri Tito Karnavian tidak dapat dipandang sebagai persoalan administrasi batas wilayah dalam negara Indonesia, tapi harus dicermati sebagai keputusan bernuansa provokasi yang berpotensi memicu bangkitnya perlawanan separatisme di Aceh.
Mengingat persoalan 4 pulau, telah berkembang menjadi issue politik dan pertahanan keamanan serta telah dieksploitasi untuk mendiskreditkan Indonesia di for a internasional oleh kelompok separatis Aceh di luar negeri ASNLF ( Atjeh Sumatera Liberation Front).
Tentunya perlu segera Presiden Prabowo mengambil langkah cepat, untuk melokalisir persoalan sengketa 4 pulau, agar tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang dapat berkembang menjadi konflik pusat – daerah.
Selanjutnya Presiden Prabowo memanggil Mendagri Tito Karnavian untuk diminta keterangan terkait keputusannya yang dapat mengancam integritas kedaulatan Indonesia. Karena tidak menutup kemungkinan persoalan kisruh 4 pulau, merupakan maneuver politik dalam rangka menciptakan instabilitas nasional yang dapat merongrong kewibawaan presiden Prabowo.
Mendagri Tito seharusnya memiliki pemahaman soal Aceh secara komprehensif, sehingga tidak gegabah ketika menyangkut batas wilayah Aceh. Untuk itu Tito perlu diberi masukan soal serba serbi konflik Aceh.
Pertama adalah pemahaman ideology Hasan Tiro yang dikenal dengan Successor States (Negara Sambungan). Hal tersebut yang menjadi pijakan perjuangan Hasan Tiro, karena Hasan Tiro mengklaim bahwa aneksasi Belanda atas wilayah Aceh yang berdaulat, kemudian digabungkan dengan wilayah jajahan hindia belanda.
Ini bertentangan dengan hukum internasional dan hukum dekolonisasi PBB yang diputuskan pada Sidang Umum PBB 1514-XV; berisi Kedaulatan atas setiap tanah jajahan tidak boleh diserahkan oleh satu penjajah atau penguasa yang lain. Tindakan Belanda tersebut, telah menghilangkan hak-hak bangsa Aceh untuk merdeka kembali.
Hasan Tiro secara tegas mengatakan bahwa persoalan konflik Aceh, sama sekali tidak berkaitan dengan persoalan separatisme, tapi merupakan tuntutan hak menentukan nasibnya sendiri sebagai wilayah berdaulat yang sudah ada, sebelum Indonesia merdeka. Successor states adalah doktrin perjuangan Hasan Tiro, untuk merebut kembali wilayah Aceh yang berdaulat dalam bentuk negara monarki.
Terkait dengan keputusan mendagri Tito Karnavian, secara sepihak telah menghilangkan hak Provinsi Aceh atas 4 pulau yang secara sah adalah milik Provinsi Aceh, patut diwaspadai sebagai bagian dari grand scenario pihak tertentu, untuk mengusik memori kolektif rakyat Aceh terhadap sejarah masa lalunya, sebagai wilayah yang telah berdaulat.
Sengketa 4 pulau, telah menstimulir bangkitnya ethno nasionalisme rakyat Aceh yang sama sekali tidak memiliki ikatan histori dengan nasionalisme Indonesia.
Kepada Mendagri Tito, seyogyanya untuk dipertimbangkan membatalkan keputusan menyangkut kepemilikan 4 pulau menjadi milik Provinsi Sumut, mengingat latar belakang konflik aceh adalah bukan semata-mata persoalan separatisme, tetapi persoalan hak menentukan nasib sendiri atas wilayah Aceh yang sudah berdaulat sebelum Indonesia merdeka.
Ditulis oleh: Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)