PERISTIWA

Kemana Pemerintah? Relawan Bencana Manangis di Jembatan Kutablang

×

Kemana Pemerintah? Relawan Bencana Manangis di Jembatan Kutablang

Sebarkan artikel ini
Lokasi penyeberangan di jembatan putus Kutablang, Bireuen. Foto: Dok. Warga

MITRABERITA.NET | Krisis kemanusiaan di Aceh kian terasa pahit ketika jalur distribusi bantuan harus terhenti bukan karena cuaca ekstrem atau medan yang terputus, melainkan biaya penyeberangan yang tak masuk akal.

Di tepi Jembatan Kutablang, Bireuen, pada Selasa 9 Desember 2025, relawan kemanusiaan asal Kabupaten Aceh Timur, tak kuasa membendung air matanya saat mengetahui tingginya biaya untuk menyeberangkan 5 ton bantuan kemanusiaan di jembatan putus tersebut.

Mun (45), seorang relawan yang sedang membawa bantuan dalam misi kemanusiaan dari Banda Aceh harus terhenti di lokasi penyeberangan. Logistik untuk korban banjir itu tidak bisa menyeberang karena biaya bongkar dan angkut mencapai Rp9 juta.

“Biaya bongkar dan langsir ke tepian sungai Rp2 juta, angkut menyeberang Rp5 juta, bongkar lagi ke truk seberang Rp2 juta, total Rp9 juta,” ungkapnya, dengan suara bergetar.

Mun bukanlah relawan baru dalam bencana. Sejak masa konflik Aceh hingga pasca tsunami Aceh tahun 2004, ia terbiasa turun langsung ke lokasi bencana untuk aksi-aksi kemanusiaan.

Bersama dua staf yayasannya dari Malaysia dan Jawa Barat, ia bergerak dari satu titik ke titik lain di sepanjang pantai timur–utara Aceh, membagikan beras, mie instan, dan air mineral.

“Sepanjang pengalaman saya di masa konflik dan tsunami, baru kali ini saya melihat rasa kemanusiaan seakan telah mati. Dalam pikiran mereka hanya uang, dan uang,” ujarnya.

Karena tak mampu memenuhi biaya yang diminta, Mun terpaksa membatalkan penyeberangan bantuan. Tumpukan bahan pangan yang seharusnya sudah berada di tangan warga malam itu justru tertahan di seberang sungai.

Di tengah situasi ini, kritik terhadap pemerintah kembali mencuat. Pemerintah seharusnya mengambil tanggung jawab menyediakan alat penyeberangan darurat untuk memastikan mobilitas bantuan tidak tersendat, bukan sekadar mengikuti rapat penanganan bencana.

Kondisi di lapangan memperlihatkan celah koordinasi serius, akses putus, biaya penyeberangan mahal, dan tidak adanya intervensi pemerintah untuk menjamin distribusi logistik yang cepat dan aman.

Kisah Mun menjadi potret getir bagaimana niat baik relawan dihentikan oleh sulitnya akses dan lemahnya manajemen respons bencana. Sementara ribuan warga di wilayah terdampak masih menunggu kebutuhan dasar, bantuan justru tertahan oleh sistem yang tak bekerja sebagaimana seharusnya.

Aceh membutuhkan lebih dari sekadar rapat, rakyat Aceh saat ini membutuhkan kehadiran nyata negara di titik-titik kritis seperti Kutablang, agar bantuan kemanusiaan bisa cepat sampai kepada korban bencana.

Editor: Redaksi

Media Online