MITRABERITA.NET | Di balik sorotan gemerlap Korea Selatan sebagai negara maju dengan demokrasi yang dinamis, tersimpan luka lama yang baru saja diakui. Pengakuan ini terlambat, tapi tetap mengguncang publik nasional.
Namanya Oh Gyeong Mu. Pada tahun 1967, pria itu dieksekusi mati oleh negaranya sendiri. Tuduhannya, karena mata-mata Korea Utara.
Hukum telah bicara, tapi kebenaran –seperti mayat yang ditimbun dalam diam– baru digali setelah 56 tahun.
Seperti disadur dari INews.id, pada Rabu 25 Juni 2025, Mahkamah Agung Korea Selatan mengeluarkan putusan dengan menyatakan bahwa Oh Gyeong Mu, tidak bersalah!
Sebuah vonis yang datang begitu telat, saat jasadnya sudah lama berkalang tanah dan keluarganya menghabiskan hidup dalam bayang-bayang stigma serta derita sosial yang tak pernah mereka pilih.
“Tidak bisa dianggap, penyelidikan yang sah secara hukum telah dilakukan terhadap terdakwa, dan pengakuan mereka atas kejahatan bisa dilihat sebagai bukti yang diperoleh secara tidak sah melalui kekejaman seperti penangkapan ilegal,” demikian bunyi putusan pengadilan.
Dalam kalimat itu, tersimpan ironi yang tajam. Sebab yang dulu mereka sebut hukum, kini diakui sebagai kekerasan. Yang dahulu disebut pengkhianat, kini dipulihkan sebagai korban.
Oh Gyeong Mu dihukum mati berdasarkan Undang-Undang Keamanan Nasional dan Undang-Undang Anti-Komunisme, dua instrumen hukum warisan Perang Dingin yang kini telah dibatalkan.
Tuduhan terhadapnya bermula dari peristiwa tahun 1966, saat beberapa saudaranya dibujuk ke Korea Utara oleh sang kakak tertua, Oh Gyeong Ji.
Ketika dua di antaranya kembali ke Selatan dan menyerahkan diri, bukan pengampunan yang mereka terima, melainkan kecurigaan, penyiksaan, dan hukuman.
Oh Gyeong Mu pun ikut terseret. Pengakuan yang menjadi dasar vonis dijatuhkan ternyata diperoleh di bawah tekanan, dalam penahanan ilegal yang tidak manusiawi.
Fakta ini baru terungkap dalam persidangan ulang pada tahun 2023, ketika Pengadilan Negeri Seoul membongkar kerapuhan dasar hukum yang membunuh Oh Gyeong Mu.
Pengadilan menyampaikan “permintaan maaf dan belasungkawa mendalam kepada keluarga Oh atas kebrutalan dan ketidakadilan yang mereka alami,” serta menyebut tindakan mereka bukan pengkhianatan, melainkan “berlandaskan cinta kepada keluarga.”
Rehabilitasi hukum ini terasa seperti sejumput angin sejuk di padang gurun, tapi tetap tak mampu menghapus panas luka yang telah membara selama puluhan tahun.
Keluarga Oh hidup dalam stigma sebagai keluarga pengkhianat. Nama baiknya hancur, martabatnya tercabik, dan keadilan kehilangan makna penuh karena datangnya yang terlalu lambat.
Kisah Oh Gyeong Mu adalah tamparan bagi sejarah hukum Korsel, sekaligus panggilan bagi masa kini. Seberapa jauh kekuasaan bisa melukai dengan dalih hukum? Dan siapa yang membayar harga dari sebuah ketakutan negara terhadap ideologi?
Antara Hukum dan Kemanusiaan
Kasus ini mengguncang kesadaran publik. Aktivis HAM dan kelompok sipil menyerukan peninjauan ulang terhadap kasus-kasus lama, khususnya yang berkaitan dengan Undang-Undang Anti-Komunisme yang dulu digunakan sebagai alat penindasan.
Pembebasan anumerta Oh Gyeong Mu diminta harus menjadi tonggak reformasi. Bahwa sistem hukum bukan sekadar soal aturan, tapi soal kemanusiaan.
Pengakuan kebenaran tak boleh menunggu ajal. Keadilan sejati tak bisa lahir dari ketakutan, apalagi kebencian.
Sejarah kadang mencatat orang-orang salah bukan karena mereka berdosa, melainkan karena kekuasaan terlalu takut untuk mengaku bahwa penguasa itu salah.
Oh Gyeong Mu, kini, bukan lagi pengkhianat. Ia berubah menjadi simbol dari keberanian untuk memaafkan, dan keberanian yang lebih besar untuk mengakui bahwa negara pun bisa berdosa.
Editor: Tim Redaksi