MITRABERITA.NET | Kebebasan pers di Indonesia kembali menjadi sorotan. Meski secara formal dijamin oleh undang-undang dan konstitusi, praktik di lapangan menunjukkan tanda-tanda kemunduran.
Hal ini mengemuka dalam sebuah diskusi terbuka di podcast Suara Demokrasi yang dipandu Ketua Dewan Pers, Prof. Komaruddin Hidayat, dengan menghadirkan mantan Menkopolhukam Prof. Mahfud MD dan jurnalis senior Bambang Harymurti.
Seperti dikutip dari situs resmi Dewan Pers, dalam perbincangan yang berlangsung beberapa waktu lalu, Mahfud MD menyampaikan pandangan kritisnya mengenai kondisi pers Indonesia saat ini.
Menurutnya, meskipun secara hukum pers tidak boleh dibredel dan bebas menyuarakan aspirasi masyarakat, namun fungsi kontrol sosial yang seharusnya menjadi roh utama pers justru semakin melemah.
“Sekarang pers memang formal bebas, tapi daya pukulnya terhadap perubahan tidak seperti dulu. Kebebasan pers hari ini berada dalam keprihatinan,” ujar Mahfud MD.
Mahfud menyoroti bahwa salah satu masalah utama adalah ketergantungan media terhadap dukungan finansial, khususnya dari pemerintah.
Ia menilai, media yang bersikap kritis seringkali kesulitan mendapat iklan dari pihak swasta karena adanya ketakutan tersendiri. Alhasil, media-media tersebut terpaksa berharap pada dukungan pemerintah.
“Misalnya dalam bentuk iklan. Media konvensional maupun media sosial seperti podcast pun mengalami hal serupa. Pemerintah merasa senang ketika dikritik lewat kanal baru, tetapi ketika diminta membantu, swasta tidak berani, akhirnya media jadi tertekan,” jelasnya.
Kondisi ini, tambah Mahfud MD, memunculkan praktik kaburnya batas antara berita dan iklan. Beberapa media bahkan memuat konten berbayar yang dikemas seperti berita biasa.
“Kadang orang membuat iklan tentang dirinya lalu dimuat di kolom berita. Itu jelas berbayar, dan publik sulit membedakan mana berita murni dan mana pariwara,” tegasnya.
Pandangan Mahfud MD mendapat penguatan dari Bambang Harymurti, salah satu jurnalis senior Indonesia. Menurutnya, apa yang disampaikan Mahfud MD sulit untuk dibantah. Bambang justru menambahkan pengalaman pribadi yang mencerminkan tantangan baru bagi insan pers di era modern.
Ia mencontohkan, dalam sebuah kunjungan ke salah satu media besar, ia mendapati banyak mantan bawahannya yang kini bekerja di sana. Namun, para jurnalis tersebut mengaku lebih takut pada tekanan internal perusahaan dibanding intervensi pemerintah.
“Kalau dulu di era Orde Baru wartawan takut menerima telepon dari Departemen Penerangan atau Puspen ABRI, sekarang yang ditakuti justru dari teman satu kantor, terutama dari bagian komersial,” kata Bambang.
Menurutnya, bagian komersial seringkali mendesak redaksi untuk tidak mengkritik pemasang iklan agar bisnis tetap berjalan lancar. Hal ini menciptakan bentuk “pembreidelan internal” yang berbeda dari era sebelumnya.
“Bukan medianya yang dibredel, tapi wartawannya yang ditekan agar jangan menyinggung pengiklan. Jadi bukan musuh eksternal lagi, melainkan tantangan dari dalam,” tambahnya.
Lebih jauh, Bambang menegaskan bahwa sejatinya kekuatan utama media adalah kredibilitas, bukan sekadar memenuhi keinginan pemasang iklan atau pihak yang membayar.
Jika media hanya menjual puji-pujian atau bahkan kesempatan untuk menyerang pihak lain, maka dalam jangka panjang hal itu justru akan menghancurkan diri mereka sendiri.
“Dalam jangka pendek, mungkin media dapat keuntungan, pendapatan naik, karyawan bisa mendapat bonus. Tapi itu ibarat narkoba, menyenangkan sesaat namun membinasakan dalam jangka panjang,” tuturnya.
Diskusi ini mencerminkan kondisi pers Indonesia yang kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, kebebasan pers dijamin oleh undang-undang dan menjadi salah satu pilar demokrasi.
Namun di sisi lain, tekanan ekonomi, intervensi politik, serta kaburnya batas etika jurnalistik membuat pers menghadapi tantangan serius.
Apa yang disampaikan Mahfud MD dan Bambang Harymurti menjadi alarm penting bahwa kebebasan pers tidak hanya soal regulasi, melainkan juga ekosistem yang sehat.
Sumber: Dewan Pers