MITRABERITA.NET | Ketua PWI Aceh Besar, Jufrizal menilai tugas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Aceh saat ini mulai bergeser dari amanah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Coy, begitu ia akrab disapa, dalam keterangan tertulisnya kepada media, Sabtu 13 September 2025, mengaku heran karena KPI Aceh sibuk dengan persoalan penggunaan handphone di kalangan ASN yang belakangan terpapar judi online.
Padahal lembaga yang dibiayai oleh negara ini seharusnya lebih berfungsi mengawasi lembaga penyiaran, baik televisi maupun radio, yang menjadi tugas utamanya.
“Kalau merujuk UU No. 32 Tahun 2002, tugas utama KPI itu adalah mengawasi isi siaran televisi dan radio. Tapi sekarang, KPI Aceh malah terkesan lebih sibuk mengawasi handphone ASN. Ini sangat jauh menyimpang dari fungsinya seperti diatur undang-undang,” kata Jufrizal.
Coy yang juga jurnalis televisi lokal itu menyampaikan keresahannya terkait sikap Komisioner KPI Aceh, M Reza Fahlevi, yang sebelumnya mendukung langkah Bupati Aceh Timur, Iskandar Usman Al-Farlaky, merazia handphone ASN untuk memberantas judi online.
Reza menilai judi online bukan sekadar persoalan hukum, melainkan ancaman serius bagi moral dan sosial masyarakat. Ia pun mengaku bingung, kepentingan apa yang membuat KPI Aceh harus mengomentari kebijakan bupati Aceh Timur itu.
Jufrizal tidak menampik bahwa judi online merupakan masalah besar yang meresahkan publik dan layak menjadi perhatian seorang bupati selaku kepala daerah.
“Namun sepertinya KPI Aceh perlu diingatkan bahwa lembaga ini dibentuk untuk mengawasi lembaga penyiaran, bukan untuk menjadi buzzer pemerintah,” sindirnya.
“Persoalan judi online memang harus diberantas, tapi bukan berarti KPI melupakan amanah utama untuk menjaga kualitas siaran di televisi dan radio. Itu yang seharusnya diperkuat,” tegasnya.
Hal senada disampaikan jurnalis televisi lainnya, Ali Raban. Menurutnya, KPI Aceh terkesan tidak peduli pada tugas inti yang telah diamanahkan undang-undang, yakni memastikan keberadaan konten lokal di setiap siaran televisi di Aceh.
“Persoalan meresahkan yang terjadi hari ini, seluruh TV nasional yang bersiaran di Aceh menutup siaran lokalnya, dan KPI malah diam. Padahal, sesuai undang-undang, setiap lembaga penyiaran yang bersiaran di Aceh wajib menayangkan minimal 20 persen konten lokal,” ujar Ali Raban.
Ia juga sependapat dengan Jufrizal, yang berharap KPI Aceh segera kembali ke tugas dan fungsinya sebagai lembaga pengawasan penyiaran, agar keberadaan lembaga yang dibiayai negara ini benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, khususnya di Aceh.
Editor: Tim Redaksi






