MITRABERITA.NET | Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh mencatat, inflasi Aceh pada Agustus 2025 mencapai 3,70 persen. Inflasi tertinggi di Kabupaten Aceh Tengah yang mencapai 5,20 persen. Fakta ini menjadi alarm keras bahwa pengendalian harga dan perlindungan daya beli masyarakat bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.
Inflasi bukan sekadar angka di atas kertas. Ia adalah potret nyata kondisi dapur masyarakat. Harga beras, cabai, minyak goreng, hingga ongkos transportasi yang terus merangkak naik langsung menghantam rumah tangga kelas menengah ke bawah.
Pengamat Ekonomi dan Bisnis, Dr. Amri, SE., M.Si, menilai jika terus dibiarkan, inflasi akan menggerus kesejahteraan rakyat kecil sekaligus memperlebar jurang kesenjangan antar wilayah. Itu sebabnya, tim ekonomi Pemerintah Aceh harus bekerja keras.
“Mereka harus turun langsung ke pasar, menyaksikan bagaimana rakyat mengeluh ketika harga cabai melambung dan beras makin sulit dijangkau. Inflasi ini fakta, bukan sekadar data statistik, apalagi omon-omon,” kata Dr. Amri kepada wartawan, Jumat 12 September 2025.
Menurutnya, langkah mendesak yang harus ditempuh adalah stabilisasi harga pangan strategis. Operasi pasar perlu digencarkan, terutama di kabupaten dengan inflasi tertinggi seperti Aceh Tengah.
Dr. Amri menegaskan bahwa kehadiran pemerintah di pasar bukan sekadar formalitas, melainkan wujud keberpihakan nyata pada masyarakat.
Namun, di sisi lain ia juga mengingatkan operasi pasar hanya bersifat jangka pendek, karena akar masalah inflasi di Aceh terletak pada distribusi dan logistik yang tidak efisien.
Daerah pedalaman masih sangat bergantung pada pasokan dari kota besar, dengan biaya transportasi yang kerap melonjak. Kondisi ini membuat harga barang melambung sebelum sampai ke tangan konsumen.
Produksi lokal pun belum mendapat perhatian serius. Petani Aceh terjepit oleh biaya produksi yang tinggi. Pupuk mahal, benih terbatas, sementara hasil panen dijual murah ke tengkulak.
Menurut Dr. Amri, pemerintah semestinya hadir melalui subsidi input pertanian serta mendorong kemitraan koperasi dan UMKM agar rantai distribusi lebih pendek dan efisien.
“Jika produksi lokal kuat, harga pangan di daerah otomatis lebih stabil. Petani untung, masyarakat pun tidak terbebani harga tinggi,” jelas akademisi Universitas Syiah Kuala itu.
Tak kalah penting adalah diversifikasi pangan. Ketergantungan Aceh pada beras sebagai makanan pokok membuat masyarakat sangat rentan terhadap lonjakan harga.
Padahal, Aceh kaya dengan pangan alternatif seperti jagung, ubi, dan sagu. “Kalau diversifikasi digerakkan, masyarakat punya pilihan ketika harga beras melonjak. Daya beli mereka bisa lebih terlindungi,” tambah Amri.
Selain kebijakan harga, ia menyarankan Pemerintah Aceh untuk lebih fokus menjaga penghasilan masyarakat. Penyaluran bantuan sosial pun perlu ditata ulang agar tepat sasaran.
Perlu disiapkan mekanisme tanggap darurat ketika harga pangan melonjak. Bantuan tunai sementara bisa menjadi bantalan agar gejolak sosial tidak meluas.
Selain itu, kata Dr. Amri, program padat karya bisa menjadi strategi ganda: menambah penghasilan masyarakat sekaligus memperkuat infrastruktur desa.
Irigasi, jalan kecil, dan pekerjaan pekerjaan kecil bisa dikerjakan bersama masyarakat, sehingga menciptakan lapangan kerja sekaligus menekan biaya distribusi.
Transportasi publik juga tak boleh dilupakan. Setiap kenaikan tarif angkutan umum langsung menaikkan biaya distribusi barang sekaligus biaya hidup masyarakat. Menjaga tarif tetap terkendali adalah bagian penting dari strategi pengendalian inflasi.
Dr. Amri juga mengungkap kelemahan lain yang terletak pada koordinasi antar instansi. Menurutnya, Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) kerap hanya menjadi perpanjangan tangan kebijakan pusat, tanpa inisiatif lapangan.
Data harga harian yang dikumpulkan sering berhenti di meja laporan, tanpa ditindaklanjuti dengan aksi nyata di pasar.
“Inflasi memang fenomena ekonomi, tetapi dampaknya sangat sosial. Ia bisa memicu keresahan, protes, bahkan memperlebar jurang antara kota dan desa,” jelasnya.
“Jika Pemda abai, maka yang paling dirugikan adalah rakyat kecil, sementara elite daerah tetap nyaman dengan akses mereka ke pasar modern dan jaringan distribusi,” tambahnya.
Pemegang sertifikat Planning and Budgeting dari GRIPS Tokyo yang juga mantan Sekretaris Program Magister Manajemen USK itu mengatakan, Aceh membutuhkan strategi yang berpihak pada rakyat, bukan sekedar pada angka statistik.
“Angka inflasi 3,70 persen mungkin terlihat terkendali secara agregat, tetapi cerita berbeda muncul di pasar tradisional dan dapur rumah tangga. Ketika cabai menyentuh harga tinggi dan beras makin sulit dijangkau, angka berapa pun terasa menyakitkan bagi rakyat,” tuturnya.
Ia mengingatkan pemerintah daerah untuk selalu sadar bahwa menjaga kesejahteraan rakyat tidak cukup dengan proyek mercusuar atau bangunan megah.
“Mengendalikan inflasi dan melindungi daya beli masyarakat adalah pembangunan yang sesungguhnya, yang dirasakan langsung oleh rakyat, dari meja makan hingga kantong belanja mereka,” katanya.
“Sekali lagi, yang perlu sekali diingat bahwa kesejahteraan ekonomi rakyat adalah data dan fakta serta realita, bukan omom-omon. Ketika rakyat tak punya uang, daya beli menurun itulah kenyataan,” pungkasnya.
Editor: Redaksi













