MITRABERITA.NET | Industri Media di Indonesia tengah berdiri di persimpangan yang mengkhawatirkan. Tanpa inovasi model bisnis, eksistensi media konvensional hanya tinggal menunggu waktu.
Gempuran teknologi digital, dominasi platform global, hingga perubahan drastis pola konsumsi informasi publik, memaksa pelaku media berpikir ulang soal cara bertahan dan berkembang.
Sebelumnya, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi) Nezar Patria, menegaskan pentingnya pergeseran strategi Bisnis Media agar tetap mampu menjalankan peran pentingnya dalam demokrasi.
“Jadi bagaimana mencari model bisnis baru buat pers saat ini supaya bisa tumbuh kuat, sehat dan bisa menjalankan tugasnya sebagai pilar keempat demokrasi,” ujar Nezar.
Hal itu disampaikan Nezar Patria dalam sebuah seminar Media Sustainability: Strengthening Democracy and Public Trust, di Jakarta Pusat, pada Sabtu 3 Mei 2025.
Ia menjelaskan, realitas hari ini menunjukkan bagaimana platform digital seperti Google, Facebook, dan TikTok mengendalikan arus informasi, menjadikan media sosial sebagai sumber berita utama bagi mayoritas masyarakat.
Alhasil, media arus utama kesulitan bersaing dalam ekosistem yang tidak mereka kuasai –baik secara algoritma, distribusi, maupun monetisasi.
Yang lebih mengkhawatirkan, banyak media kini tersandera oleh kebutuhan “clickbait” demi trafik iklan, yang justru menjauh dari esensi jurnalisme berkualitas.
Dalam lanskap ini, masyarakat dibanjiri konten dangkal, misinformasi, bahkan hoaks.
Nezar melihat bahwa peluang tetap ada jika industri media mampu membangun kolaborasi nyata untuk melawan arus disinformasi dan memanfaatkan teknologi secara bijak.
“Selain platform media sosial, banyak teknologi baru bermunculan seperti artificial intelligence (AI) yang dapat menjadi ancaman maupun peluang,” ungkapnya.
Publisher Right?
Pemerintah Indonesia telah merespons dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024 tentang Publisher Right, yang menuntut platform digital berbagi tanggung jawab mendukung jurnalisme berkualitas. Ini merupakan sinyal positif, namun bukan jaminan mutlak.
“Pemerintah mencoba menyeimbangkan hubungan antara media yang mengusung jurnalisme berkualitas dengan platform, itu sebabnya kita berharap ini bisa dijalankan setidaknya bisa membuat media bertahan di tengah gempuran teknologi ini,” jelas Nezar.
Namun keberhasilan kebijakan ini sangat tergantung pada implementasi di lapangan, mulai dari keberpihakan algoritma, transparansi data distribusi, hingga keadilan pembagian pendapatan.
Dalam situasi ini, Wamenkomdigi menekankan pentingnya keberanian mencoba berbagai model bisnis baru. Tak cukup hanya bergantung pada iklan digital atau mengejar traffic.
Alternatif seperti membership, paywall, crowdfunding, layanan premium berbasis komunitas, hingga monetisasi melalui format audio-visual seperti podcast dan video on demand perlu dicoba secara serius.
“Model yang paling tepat harus di-exercise, harus dicoba. Pilihannya, apakah mau agar mandiri keluar dari proses platform ini ataukah bersama platform berkolaborasi untuk menumbuhkan satu hubungan bisnis yang lebih sehat dan sustainable ke depan,” katanya.
Penulis: Hidayat | Editor: Tim Redaksi