ADA masa ketika orang Indonesia menyebut budi pekerti sebagai cermin diri, dimana bila bening hatimu, beninglah perilakumu. Dalam budaya bangsa, budi pekerti bukan hanya pengetahuan tentang benar dan salah, tetapi nafas hidup yang mengajarkan kejujuran, rendah hati, sopan santun, serta keberanian menjaga marwah. Dari situlah identitas Indonesia tumbuh, dari nilai yang diwariskan, dijaga, lalu dihidupkan kembali dalam setiap tindakan generasi.
Namun nilai-nilai itu kini seperti retak, sebagaimana retaknya kepercayaan publik pada institusi negara. Kasus ijazah Bekas Presiden Joko Widodo yang hingga hari ini tak pernah ditunjukkan secara terbuka dalam bentuk asli telah menggeser perdebatan publik dari sekadar administrasi pendidikan menjadi persoalan moral yang menguji keteguhan bangsa.
Temuan pakar digital forensik, pandangan ilmiah dari Roy Suryo dan sejumlah akademisi, serta keinginan sebagian masyarakat untuk menegakkan transparansi justru berujung pada kriminalisasi dan tekanan hukum. Bukannya menjawab keresahan rakyat dengan sikap kesatria, negara justru memilih membentengi diri dengan kekuasaan.
Dalam sejarah negeri-negeri yang menjunjung demokrasi, transparansi pemimpin adalah hal paling mendasar. Integritas dibangun bukan dari pencitraan, tetapi dari kesediaan pemimpin membuka dirinya di hadapan rakyat. Namun di negeri ini, satu dokumen yang seharusnya mudah dihadirkan justru menjelma menjadi tembok pembatas yang membuat bangsa terbelah.
Sengketa ijazah ini telah mengikis nilai sopan santun politik, membuat fanatisme kelompok tumbuh, dan melemahkan institusi hukum yang seharusnya berdiri tegak di atas kebenaran, bukan keberpihakan.
Efeknya menjalar ke mana-mana. Pemilu yang semestinya menjadi pesta demokrasi berubah menjadi arena permusuhan tanpa batas. Relawan politik menjelma menjadi kekuatan yang kadang lebih keras daripada partai, membentuk loyalitas yang membutakan. Identitas keindonesiaan yang ramah dan inklusif seolah digantikan simbol-simbol kelompok yang justru memperlebar jurang di tengah rakyat. Negara kehilangan suara moralnya, dan kekuasaan kehilangan wibawa karena tak mampu menjernihkan persoalan yang menyangkut integritas pemimpinnya sendiri.
Kerusakan nilai selama satu dekade terakhir membuat bangsa seperti berjalan dalam kabut. Presiden Prabowo yang kini memegang mandat elektoral seharusnya menjadi tumpuan harapan untuk merajut kembali kepercayaan publik. Namun pendekatan kompromi terhadap warisan kerusakan masa sebelumnya membuat banyak orang bertanya-tanya, sampai kapan bangsa ini harus menanggung luka moral yang tak kunjung dipulihkan? Pidato berapi-api tidak akan sanggup menutup retakan besar bila tindakan politik tidak menyentuh akar masalah.
Kompromi terhadap pelanggaran bukan hanya kelemahan kepemimpinan, melainkan pengingkaran terhadap amanat rakyat. Negara yang membiarkan kebenaran disembunyikan berarti mengabaikan hak rakyat untuk mengetahui hal paling mendasar tentang pemimpinnya. Lebih jauh lagi, ia merusak sendi moral bangsa yang selama ini menjadi pelindung terakhir ketika hukum dan politik kehilangan arah.
Namun bangsa ini tak pernah kehilangan kesempatan untuk bangkit. Dalam pandangan hikmah yang sering dipesankan para ulama, setiap krisis adalah panggilan agar manusia kembali ke nilai-nilai terdalamnya. Begitu pula dengan Indonesia. Kita mungkin sedang melalui masa-masa gelap di mana integritas dipertanyakan dan kejujuran terpinggirkan. Tetapi dalam keyakinan spiritual yang mengalir kuat di tubuh bangsa ini, Tuhan telah menjamin bahwa bersama kesulitan selalu hadir kemudahan. Itu bukan sekadar penghiburan, tetapi pesan agar kita jangan menyerah pada keadaan.
Tugas kita hari ini adalah memulihkan marwah bangsa. Menghidupkan kembali nilai budi pekerti yang mulai pudar. Menuntut kejujuran sebagai syarat minimum kepemimpinan. Mengembalikan hukum pada tempatnya, agar tak lagi menjadi alat kekuasaan. Dan yang terpenting, menjaga agar tidak ada lagi pemimpin yang berlindung di balik kekuatan politik ketika kebenaran memanggil untuk diungkap.
Suatu hari nanti, ketika keberanian moral kembali menemukan tempatnya, ketika transparansi tidak lagi dianggap ancaman, dan ketika ijazah bukan lagi skandal yang mencabik martabat bangsa, Indonesia akan berdiri lebih tegak dari sebelumnya. Tidak karena kekuatan politiknya, tetapi karena kejernihan hati dan keluhuran budi pekertinya.
Itulah jalan pulang bangsa ini. Jalan yang panjang, tetapi pasti selalu ada, selama kita masih percaya bahwa marwah tidak boleh digadaikan, dan kebenaran tidak akan pernah mati.
Ditulis oleh: Sri Radjasa (Pemerhati Intelijen)













