HARI Raya Idul Adha, atau dikenal juga sebagai Hari Raya Kurban, bukan sekadar ritual tahunan penyembelihan hewan. Di balik tumpukan daging dan takbir yang berkumandang, tersimpan kisah penuh air mata dan ujian luar biasa tentang seorang ayah yang diperintahkan menyembelih anak kandungnya sendiri sebagai bentuk kepatuhan total kepada Sang Pencipta.
Itulah kisah Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail. Kisah yang tak lekang oleh zaman, dan hingga hari ini dikenang umat Islam di seluruh dunia sebagai bentuk pengabdian tertinggi manusia kepada Tuhan.
Nabi Ibrahim dikenal sebagai salah satu nabi besar yang paling taat. Namun sebelum semua ujian berat itu datang, Ibrahim pernah melewati masa panjang tanpa keturunan.
Doanya tak kunjung dikabulkan. Sampai akhirnya, di usia senja, dari istrinya Siti Hajar, lahirlah seorang anak laki-laki tercinta yang diberi nama Ismail.
Anak itu sangat dinanti. Namun tak lama setelah kelahirannya, Allah memerintahkan Ibrahim untuk membawa Siti Hajar dan Ismail kecil pergi meninggalkan Palestina menuju lembah tandus yang kini dikenal sebagai Mekkah. Lembah tersebut, yang waktu itu belum berpenghuni, dikenal dengan nama Lembah Bakkah. Tanpa air, tanpa makanan, dan tanpa manusia lain.
Di tempat itulah, dengan penuh kepatuhan meski hati terasa berat, Ibrahim meninggalkan istri dan anaknya hanya dengan sedikit bekal. Siti Hajar, dalam keterasingan, berlari antara bukit Shafa dan Marwah demi mencari air. Hingga dengan izin Allah, muncullah air zamzam dari bawah kaki Ismail. Itulah titik awal kehidupan di Mekkah.
Tahun-tahun berlalu. Ismail tumbuh menjadi remaja yang saleh, kuat, dan berbakti. Lalu pada suatu malam, Ibrahim bermimpi bahwa ia menyembelih Ismail. Sebagai seorang nabi, Ibrahim tahu bahwa mimpinya bukan sekadar bunga tidur. Itu adalah wahyu dari Allah.
Dengan hati bergetar, ia menyampaikan mimpi itu kepada putranya: “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu.” (QS As-Saffat: 102)
Respons Ismail justru menggetarkan langit dan bumi: “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Sebelum disembelih, Ismail sempat meminta beberapa hal pada ayahnya. Ia minta diikat agar tidak bergerak, meminta pisaunya diasah agar tidak terlalu menyakitkan, dan terakhir, ia ingin bajunya diberikan kepada sang ibu sebagai kenang-kenangan.
Ibrahim pun menuruti semuanya. Dengan hati penuh duka dan iman yang tak tergoyahkan, ia membaringkan putranya. Ibrahim mengangkat pisaunya yang tajam, mengkilat, siap mengakhiri hidup anaknya. Namun keajaiban terjadi. Pisau itu tak mampu menyayat kulit Ismail.
Kemudian datanglah firman Allah: “Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya ini adalah ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS As-Saffat: 104–107)
Seekor kambing besar dihadirkan sebagai pengganti. Maka sejak saat itu, peristiwa pengorbanan agung itu dikenang sebagai kurban pertama dalam sejarah manusia.
Idul Adha bukan hanya tentang menyembelih hewan. Ini adalah peringatan tentang arti dari kepasrahan, ketaatan, dan keikhlasan. Nabi Ibrahim dan Ismail menunjukkan bahwa cinta kepada Allah harus lebih besar dari cinta kepada dunia, bahkan kepada anak yang begitu dicintai.
Setiap tetes darah hewan kurban yang mengalir adalah simbol dari pengorbanan terbesar dalam sejarah umat manusia. Bahwa dalam setiap perintah Allah, selalu ada hikmah. Dan bahwa cinta sejati kepada Allah tidak pernah sia-sia.
Penulis: Samsul Bahri | Editor: Redaksi