MITRABERITA.NET | Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Luwa Nanggroe, Teuku Emi Syamsyumi alias Abu Salam, membantah pernyataan Mediator damai Helsinki, Juha Christensen, yang baru-baru ini mengulas kembali proses perundingan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia di kanal YouTube SagoeTV.
Dalam wawancara tersebut, Juha menegaskan bahwa perdamaian Aceh lahir karena faktor “kelelahan perang” (war fatigue), serta menutup rapat-rapat kemungkinan kemerdekaan Aceh.
Bahkan ia menyebut MoU Helsinki tidak pernah menyebut istilah self-government, melainkan hanya mengatur soal otonomi luas. Namun, klaim itu langsung dibantah telak oleh Abu Salam.
“Juha itu pembual dan pendusta. Dokumen MoU Helsinki jelas-jelas menyebutkan self-government bagi Aceh. Ia sedang menutupi fakta sejarah dan memutarbalikkan isi kesepakatan,” tegas Abu Salam dalam keterangannya kepada media, Kamis 28 Agustus 2025.
Abu Salam menegaskan, sejak awal perundingan damai antara GAM dengan Pemerintah Indonesia, di Helsinki, poin krusial yang diperjuangkan GAM adalah pengakuan atas kewenangan Aceh dalam bentuk self-government.
Hal inilah, menurutnya, yang menjadi diferensiasi paling mendasar antara MoU Helsinki dengan format otonomi daerah biasa.
“Kalau hanya otonomi luas, itu bukan hal baru. Daerah lain di Indonesia juga bisa menuntut hal yang sama. Tapi Aceh mendapat pengakuan khusus berupa self-government, dan itu tertulis. Jadi pernyataan Juha jelas-jelas menyesatkan publik,” ungkap Abu Salam.
Abu Salam juga mengkritik keras narasi Juha yang menyebut Malik Mahmud sebagai entry point karena cepat memahami realitas global.
Menurut Abu Salam, pernyataan itu seakan menegasikan peran kolektif GAM, terutama para kombatan di lapangan dan jaringan internasional yang ikut menekan agar perundingan menghasilkan kesepakatan bermartabat.
“Seolah-olah Malik seorang diri yang membuat semuanya berjalan. Itu narasi yang dilebih-lebihkan. Juha memang lihai bercerita, tapi sering tak sesuai fakta,” sindir Abu Salam.
Abu Salam juga menepis klaim Juha yang menyebut sebagian besar poin MoU sudah terealisasi.
Menurutnya, implementasi di lapangan masih jauh dari komitmen awal, terutama dalam hal hak politik lokal, pengelolaan sumber daya alam, serta penegasan status Aceh dengan self-government.
“Kalau Juha bilang MoU sudah 70–80 persen dijalankan, itu lagi-lagi omong kosong. Realitasnya, banyak poin krusial diabaikan. Bahkan UUPA yang disebut produk turunan, telah menggerus semangat MoU dengan tafsir sepihak pemerintah,” jelas Abu Salam.
Lebih jauh, Abu Salam menuding Juha sengaja memanfaatkan momentum 20 tahun perdamaian Aceh untuk mencari panggung pribadi dengan melontarkan narasi provokatif.
“Juha ini bukan malaikat perdamaian. Ia mediator bayaran, dan sekarang masih ingin menulis ulang sejarah sesuai seleranya. Padahal kami, para kombatan dan rakyat Aceh, yang menanggung luka dan darah,” imbuhnya.
Abu Salam menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa Aceh tidak boleh dibiarkan terus-menerus dikerdilkan oleh tafsir sepihak, apalagi dari seorang mediator asing yang menurutnya lebih suka bersilat lidah daripada berkata jujur.
Editor: Redaksi