POLEMIK empat pulau yang terletak di perbatasan Aceh Singkil (Provinsi Aceh) dan Tapanuli Tengah (Sumatera Utara) kembali mencuat ke permukaan, menghidupkan kembali persoalan lama yang belum juga terselesaikan.
Penetapan Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang sebagai bagian dari wilayah Sumatera Utara oleh Kementerian Dalam Negeri telah memicu gelombang protes dari masyarakat Aceh.
Ini bukan sekadar urusan administratif, tetapi menyentuh soal harga diri dan kedaulatan wilayah. Aksi penolakan dari Aceh terhadap keputusan tersebut sudah berlangsung dalam beberapa tahap.
Kini memasuki babak ketiga setelah terbitnya Kepmendagri Nomor 300.2.2.2138 Tahun 2025 tertanggal 25 April 2025, yang kembali menetapkan keempat pulau itu masuk dalam wilayah Sumatera Utara.
Sebelumnya, protes serupa juga terjadi pada tahun 2022 menyusul keluarnya Kepmendagri Nomor 100.1.1.6117. Namun hingga kini, belum ada penyelesaian konkret.
Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil, serta perwakilan legislatif Aceh di tingkat nasional tampak belum berhasil menuntaskan persoalan yang telah menjadi polemik sejak 2017 ini. Isu ini terus berulang tanpa kejelasan arah dan tanpa transparansi proses.
Kita menghargai langkah politisi dan anggota DPR RI maupun DPD RI asal Aceh yang telah bersuara melalui Forum Bersama (Forbes) dengan menyerukan kepada Presiden Prabowo agar membatalkan keputusan tersebut.
Kita juga mengapresiasi langkah nyata berupa kunjungan langsung ke lokasi keempat pulau di Kabupaten Aceh Singkil. Namun, dengan semakin meluasnya protes rakyat Aceh hingga menjadi isu nasional, sudah saatnya dilakukan pendekatan strategis untuk menyelesaikan persoalan ini.
Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil, serta perwakilan legislatif di tingkat daerah dan pusat perlu menyusun strategi berbasis data dan fakta terbaru, lalu membangun komunikasi intensif dengan Kementerian Dalam Negeri.
Penyelesaian masalah ini harus diprioritaskan dan dianggap mendesak. Menteri Dalam Negeri sendiri, usai terbitnya Kepmendagri tahun 2022, pernah menyatakan dalam wawancara media bahwa pihak Aceh diberi ruang untuk menyampaikan aspirasi dan keberatan.
Hal ini disampaikan saat pelantikan Pj Gubernur Aceh pada 6 Juli 2022 di Banda Aceh. Pertanyaannya: apakah kesempatan itu dimanfaatkan oleh Pemerintah Aceh?
Komisi I DPRA memang secara resmi telah menyurati Mendagri pada September 2023 untuk meminta agar keempat pulau tersebut dikembalikan ke Aceh. Tapi apakah setelah itu pernah terjadi pertemuan resmi antara Pemerintah Aceh dengan Kementerian Dalam Negeri?
Jika ya, bagaimana hasilnya? Dan apakah informasi tersebut pernah disampaikan ke publik?
Kita mendorong Pemerintah Aceh untuk menuntaskan persoalan ini secara menyeluruh. Komunikasi aktif dengan Kementerian Dalam Negeri harus segera dibangun.
Pemerintah Aceh bersama DPR dan DPD RI asal Aceh perlu menyampaikan data dan bukti yang kuat, dan memastikan keempat pulau tersebut diakui sebagai bagian sah dari wilayah Aceh. Negosiasi, koordinasi, dan penyampaian argumen yang solid harus menjadi kunci dalam menyelesaikan polemik ini.
Yang kita butuhkan sekarang adalah ketegasan sikap dari Pemerintah Aceh. Sejauh mana upaya penyelesaian telah dilakukan? Apakah sudah ada negosiasi? Dan apa hasilnya?
Pemerintah Aceh wajib memberikan penjelasan terbuka kepada masyarakat. Empat pulau ini bukan sekadar titik koordinat di peta, ini adalah bagian dari identitas Aceh yang tak boleh hilang akibat kelalaian administrasi.
Ditulis oleh: Dr. Usman Lamreung (Akademisi Universitas Abulyatama, Pengamat Politik dan Kebijakan Publik)