MITRABERITA.NET | Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Aceh Besar berkomitmen untuk terus melestarikan warisan budaya lokal dengan mengajukan empat Warisan Budaya Tak Benda (WBTb) baru untuk tahun 2025.
Keempat warisan budaya yang diusulkan oleh Disdikbud Aceh Besar tersebut yaitu Adat Mawah, Ratoh Talo, Sie Teuom, dan Boh Itek Deudah.
Kepala Disdikbud Aceh Besar, Bahrul Jamil, pada Selasa 3 Desember lalu menyatakan optimisme terhadap pengajuan ini.
“Kami berharap keempat usulan WBTb ini dapat terealisasi. Tentunya, pengakuan ini akan semakin memperkuat identitas budaya Aceh Besar di tingkat nasional,” ujar Bahrul Jamil.
Menurut Bahrul Jamil, pelestarian budaya lokal adalah prioritas utama yang harus terus didorong melalui perlindungan, pengembangan, pembinaan, dan pemanfaatan.
“Budaya lokal bukan hanya warisan yang harus dijaga, tetapi juga dapat diberdayakan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat,” katanya.
“Kami terus mendorong pengakuan WBTb agar budaya Aceh Besar tidak hanya dikenal, tetapi juga dilindungi dan diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya,” tambahnya.
Bahrul Jamil juga menekankan pentingnya peran aktif masyarakat dalam menjaga keberlanjutan budaya. Menurutnya, pelestarian budaya bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab bersama.
“Kami berharap semua pihak, baik masyarakat maupun stakeholder, dapat menjaga budaya ini agar terus diwariskan ke generasi mendatang,” ungkapnya.
Delapan WBTb yang Sudah Diakui
Saat ini, Aceh Besar telah memiliki delapan WBTb yang diakui secara resmi oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Sebelumnya, Aceh Besar telah memperoleh sertifikat WBTb untuk karya budaya seperti Likok Pulo (2016), Keumamah (2018), Kuah Beulangong (2018), Likee (2018), Ie Bupeudah (2022), Sie Reuboh (2022), Keu Jreunblang (2023), dan Pok Teuphen (2024).
Kabid Kebudayaan Disdikbud Aceh Besar, Cut Jarita Susanti, menjelaskan proses pengusulan WBTb melibatkan kerja sama intensif dengan berbagai pihak, termasuk Majelis Adat Aceh (MAA) dan para maestro budaya.
“Proses pengusulan dimulai dengan penginputan data Objek Pokok Kebudayaan (OPK) ke dalam aplikasi Data Pokok Kebudayaan (Dapobud). Setelah itu, kami berkoordinasi dengan MAA dan mengajukan nama-nama karya budaya ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh. Jika disetujui, kami melengkapi form pengajuan dengan data rinci, seperti aspek kesejarahan, sosial, hingga fungsi budaya tersebut dalam masyarakat,” jelas Cut Jarita.
Pelestarian Lewat Festival dan Pendidikan
Selain pengakuan resmi, Disdikbud Aceh Besar juga aktif melestarikan budaya melalui berbagai festival seni dan kegiatan pendidikan.
Festival seni tradisional seperti pentas Likok Pulo dan Likee digelar rutin untuk memperkenalkan seni tari khas Aceh Besar.
Lomba memasak kuliner tradisional seperti Kuah Beulangong juga menjadi bagian dari agenda tahunan yang digelar oleh Disdikbud Aceh Besar.
Dalam bidang pendidikan, muatan lokal seperti Bahasa Aceh, seni tari, seni musik, dan olahraga tradisional diajarkan di sekolah-sekolah. Bahkan, kegiatan ekstrakurikuler seperti seni drama dan seni ukir juga difasilitasi untuk mendukung pelestarian budaya.
“Pelestarian budaya tidak cukup hanya dengan pengakuan formal. Kami juga mengajak generasi muda untuk aktif mempelajari dan melestarikan budaya melalui pendidikan dan festival. Selain itu, pameran UMKM juga digelar untuk meningkatkan ekonomi masyarakat berbasis budaya,” kata Cut Jarita.