MITRABERITA.NET | Putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan pemilu nasional dan daerah pada Pemilu 2029 tak hanya menyisakan tanda tanya, tapi juga gelombang kritik.
Di Sabang, mahasiswa STIS Al-Aziziyah menilai kebijakan itu berpotensi merampas hak rakyat memilih wakilnya dan menggandakan beban anggaran negara.
Forum yang menghadirkan akademisi, tenaga ahli DPR RI, anggota DPRK, hingga mahasiswa, menjelma menjadi panggung kritik tajam terhadap potensi dampak kebijakan itu.
Sorotan paling keras datang dari Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) STIS Al-Aziziyah Sabang. Ketua DEMA, Alvi Dahlia, menilai pemisahan pemilu menyisakan celah konstitusional, khususnya terkait perpanjangan masa jabatan DPRD hingga 2,5 tahun tanpa pemilu.
“DPRD hadir sebagai wakil rakyat. Jika masa jabatannya diperpanjang tanpa pemilihan, rakyat kehilangan hak memilih wakilnya. Ini lebih menguntungkan elit ketimbang rakyat,” ujarnya.
Hal serupa disampaikan Wakil Ketua DEMA, Debi Fareza, yang menyoroti beban anggaran dan implikasi sosial. Menurutnya, dua kali pemilu berarti dua kali biaya politik, yang ujung-ujungnya akan dirasakan masyarakat.
“Di tengah krisis fiskal, rakyatlah yang paling menanggung dampaknya. Perubahan sistem harusnya menghadirkan efisiensi, bukan menambah beban,” tegasnya.
Sementara itu, narasumber dari Komisi II DPR RI maupun DPRK Sabang menambahkan perspektif lain, mulai dari penguatan kelembagaan Bawaslu, tantangan regulasi transisi, hingga risiko fragmentasi politik di daerah.
Mereka mengakui, pemisahan pemilu memang berpotensi memperjelas isu lokal, namun tetap menyimpan risiko kekosongan jabatan legislatif dan disharmoni kebijakan jika tidak diantisipasi.
Kehadiran mahasiswa dalam forum ini menegaskan peran mereka bukan sekadar pengamat, melainkan pengawal demokrasi. Kritik yang mereka ajukan tidak berhenti pada penolakan, tetapi juga menawarkan solusi.
Pihaknya meminta agar jumlah dan kapasitas petugas pemilu diperkuat, memaksimalkan penggunaan teknologi, serta memastikan setiap regulasi berpihak pada rakyat.
Diskusi di Sabang ini sekaligus menjadi pengingat, bahwa demokrasi tidak boleh dipandang sekadar rutinitas lima tahunan. Ia merupakan hak rakyat yang substansinya wajib dijaga, agar perubahan sistem pemilu benar-benar melahirkan keadilan, bukan sekadar kepentingan politik jangka pendek.
Editor: Redaksi