ARTIKELUTAMA

Aceh dan Sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia: Daerah Modal yang Tak Terlupakan

×

Aceh dan Sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia: Daerah Modal yang Tak Terlupakan

Sebarkan artikel ini
Replika Pesawat Seulawah. Foto. MITRABERITA.NET

DALAM narasi panjang sejarah kemerdekaan Republik Indonesia, ada satu daerah yang tak pernah luput dari catatan penting perjuangan yaitu Aceh. Terletak di ujung barat kepulauan Nusantara, Aceh tidak hanya dikenal sebagai wilayah religius dengan julukan Serambi Mekkah, tetapi juga disebut sebagai “Daerah Modal” Republik Indonesia, karena kontribusi besar rakyatnya terhadap lahir dan tegaknya kemerdekaan bangsa ini.

Julukan tersebut bukanlah gelar simbolik semata. Ia adalah pengakuan atas peran nyata dan sangat krusial yang dimainkan oleh rakyat Aceh dalam membantu keberlangsungan Republik Indonesia pada masa-masa paling genting sejak proklamasi 1945. Dari kontribusi diplomasi, logistik, hingga sumbangan emas untuk membeli pesawat pertama negara, semua menjadi bukti konkret cinta Aceh kepada Indonesia.

Ketika proklamasi kemerdekaan dikumandangkan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 di Jakarta, rakyat Aceh dengan cepat merespons seruan kemerdekaan itu. Berita tentang kemerdekaan menyebar ke seluruh pelosok Aceh melalui siaran radio dan surat kabar, dan di berbagai tempat, bendera Merah Putih langsung dikibarkan sebagai bentuk dukungan kepada Republik Indonesia yang baru lahir.

Dukungan ini bukan hanya emosional, tetapi juga diwujudkan dalam langkah-langkah politik yang konkret. Ulama, pemuda, dan tokoh masyarakat Aceh menyatakan kesetiaannya kepada republik, bahkan membentuk laskar-laskar rakyat yang bertugas menjaga keamanan dan menahan pengaruh kembali penjajah Belanda maupun pasukan Sekutu.

Salah satu tokoh sentral dalam fase ini adalah Teungku Muhammad Daud Beureueh, ulama besar Aceh yang juga menjabat sebagai Gubernur Militer Aceh Sumatera setelah proklamasi. Daud Beureueh adalah figur utama yang menggerakkan rakyat Aceh untuk menyatu dalam semangat perjuangan kemerdekaan berdasarkan nilai-nilai Islam dan nasionalisme.

Peran Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia tidak berhenti pada pengorganisasian rakyat dan dukungan moral. Pada tahun 1948, ketika Republik Indonesia sedang menghadapi krisis ekonomi dan diplomatik pasca Agresi Militer Belanda, rakyat Aceh memberikan kontribusi luar biasa yang menjadi titik balik perjuangan nasional dengan pengumpulan emas dan harta benda untuk membeli pesawat pertama Republik Indonesia.

Inisiatif ini lahir saat Presiden Soekarno berkunjung ke Aceh dan meminta dukungan rakyat. Gayung bersambut, tokoh-tokoh masyarakat, ulama, pedagang, dan bahkan ibu rumah tangga dengan sukarela menyumbangkan emas dan harta benda mereka untuk membeli sebuah pesawat Dakota DC-3. Pesawat itu kemudian diberi nama RI-001 Seulawah, mengambil nama dari gunung terkenal di Aceh.

Pesawat ini tidak hanya menjadi simbol kemandirian Indonesia dalam bidang transportasi udara, tetapi juga menjadi alat vital dalam diplomasi luar negeri, menghubungkan Republik Indonesia dengan negara-negara sahabat. Tanpa pesawat itu, banyak delegasi Indonesia mungkin takkan bisa menjangkau dunia internasional untuk menggalang dukungan pengakuan kemerdekaan.

Aceh sebagai Basis Pertahanan Republik

Selain kontribusi dalam bentuk logistik dan diplomasi, Aceh juga memainkan peran sebagai basis pertahanan Republik. Dalam periode agresi militer Belanda, banyak wilayah di Indonesia yang jatuh ke tangan penjajah. Namun, Aceh tetap menjadi wilayah yang tidak berhasil diduduki sepenuhnya oleh Belanda, karena kuatnya perlawanan rakyat dan beratnya medan tempur di kawasan tersebut.

Karena posisinya yang relatif aman, Aceh sempat ditawarkan sebagai tempat pemindahan pusat pemerintahan Republik jika Yogyakarta –ibukota sementara– juga jatuh ke tangan Belanda. Hal ini menunjukkan tingkat kepercayaan pemerintah pusat terhadap stabilitas dan kesiapan Aceh dalam mendukung Republik Indonesia yang baru seumur jagung.

Meskipun dukungan Aceh terhadap Republik sangat besar, relasi antara Aceh dan pemerintah pusat sempat mengalami pasang surut. Ketidakpuasan terhadap kebijakan Jakarta, terutama dalam hal otonomi daerah dan pengelolaan sumber daya, membuat Aceh beberapa kali mengalami gejolak politik, termasuk peristiwa pemberontakan DI/TII di bawah kepemimpinan Daud Beureueh.

Namun sejarah mencatat, semangat dasar rakyat Aceh untuk berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap kuat. Perjalanan panjang ini kemudian menghasilkan status otonomi khusus bagi Aceh pada tahun 2005, sebagai bentuk pengakuan atas sejarah, identitas, dan kontribusi Aceh yang tak ternilai bagi bangsa.

Kini, menjelang 80 tahun kemerdekaan Indonesia, Aceh terus menata diri sebagai bagian penting dari Indonesia. Dengan status otonomi khusus, provinsi ini memiliki kewenangan yang luas dalam menjalankan sistem hukum berbasis syariah dan mengelola potensi sumber dayanya sendiri di bawah Indonesia.

Berbagai pembangunan di sektor ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan telah menunjukkan geliat positif. Namun, semangat yang diwariskan para pendahulu tidak boleh dilupakan. Setiap perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia menjadi momentum untuk kembali mengingatkan generasi muda Aceh bahwa tanah ini pernah menjadi tumpuan harapan republik yang baru lahir.

Aceh telah memberikan segalanya untuk Republik Indonesia, mulai dari darah perjuangan, emas dan perhiasan, hingga komitmen moral yang kokoh. Sebagai “Daerah Modal”, Aceh tidak hanya memberi, tetapi juga menginspirasi.

Kini tugas kita bersama adalah menjaga warisan ini. Menjadikan semangat Aceh sebagai fondasi dalam membangun masa depan yang lebih adil, inklusif, dan berdaulat. Karena sejatinya, sejarah bukan sekadar masa lalu, melainkan bahan bakar untuk masa depan yang lebih gemilang.

Ditulis oleh: Hidayat (Wartawan Media MITRABERITA.NET)

Media Online