MENGAPA Aceh masih membutuhkan Dana Otonomi Khusus (Otsus)? Pertanyaan ini kerap mengemuka dalam banyak diskusi, baik di ruang akademik, parlemen, maupun warung kopi.
Apakah Aceh tidak cukup dengan anggaran umum dari pemerintah pusat? Bukankah sudah hampir dua dekade dana ini digelontorkan? Tidakkah sudah saatnya Aceh berdiri sendiri tanpa “privilege” Otsus?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak sesederhana hitung-hitungan anggaran di gedung parlemen.
Untuk memahaminya, kita perlu menengok sejarah, menggali sosiologi masyarakat, memahami filosofi bangsa, membaca hukum yang berlaku, dan menilai kondisi sosial ekonomi yang ada saat ini.
Dana Otsus bukan sekadar bantuan keuangan, melainkan komitmen negara terhadap janji damai, penghargaan atas keistimewaan daerah, dan jalan menuju keadilan sosial yang lebih merata.
Aspek Historis: Warisan dari Perjuangan dan Perdamaian
Aceh adalah wilayah yang memiliki sejarah panjang dan penting bagi Indonesia. Sejak masa kerajaan Islam, Aceh dikenal sebagai daerah yang kuat dan mandiri.
Saat Indonesia merdeka, Aceh adalah salah satu daerah pertama yang mendukung penuh perjuangan Republik. Bahkan, pesawat pertama RI dibeli dari sumbangan rakyat Aceh.
Namun, hubungan antara Aceh dan pemerintah pusat tidak selalu harmonis. Ketimpangan, ketidakadilan, dan konflik bersenjata mewarnai sejarah panjang Aceh hingga awal 2000-an.
Konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah pusat menelan ribuan korban jiwa dan merusak tatanan sosial masyarakat. Hingga akhirnya pada tahun 2005, MoU Helsinki menjadi titik balik.
MoU tersebut melahirkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Salah satu isi pentingnya adalah pemberian Dana Otsus.
Ini bukan hadiah. Ini adalah bagian dari perjanjian damai. Maka menghentikan Dana Otsus tanpa evaluasi menyeluruh adalah bentuk pengingkaran terhadap sejarah dan bisa menjadi preseden buruk dalam proses perdamaian.
Aspek Sosiologis: Kebutuhan Rakyat yang Masih Tinggi
Kita tidak bisa menutup mata bahwa masyarakat Aceh masih menghadapi banyak tantangan. Tingkat kemiskinan Aceh termasuk yang tertinggi di Indonesia. Menurut data resmi, Aceh menjadi provinsi termiskin di Sumatera dan kelima termiskin secara nasional.
Kesenjangan pembangunan antara kota dan desa, akses pendidikan yang belum merata, serta masalah pengangguran yang tinggi adalah realitas yang dihadapi rakyat Aceh setiap hari.
Dana Otsus menjadi salah satu instrumen yang mampu menjawab kebutuhan-kebutuhan dasar ini. Ia digunakan untuk membangun jalan, membiayai pendidikan, menyediakan layanan kesehatan, dan memperkuat kelembagaan lokal.
Lebih dari itu, Dana Otsus juga memberi ruang bagi masyarakat untuk menentukan sendiri arah pembangunan yang sesuai dengan karakter dan kebutuhan lokal. Ini penting karena pendekatan “satu resep untuk semua daerah” tidak selalu berhasil di negara seberagam Indonesia.
Aspek Filosofis: Menjaga Identitas dan Cita-cita Keadilan
Bangsa Indonesia lahir dari keberagaman. Kita punya semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang bukan sekadar hiasan dinding, tetapi cermin dari cita-cita bangsa. Dalam konteks Aceh, Dana Otsus adalah bentuk pengakuan terhadap keistimewaan daerah yang menerapkan syariat Islam.
Penerapan syariat Islam di Aceh bukan bentuk pemisahan diri, tapi manifestasi dari nilai-nilai lokal yang diakui negara. Dana Otsus digunakan untuk membiayai institusi-institusi syariat, mendukung pendidikan keagamaan, serta menjaga budaya lokal.
Filosofi Dana Otsus juga berakar dari prinsip keadilan distributif. Daerah yang tertinggal, yang punya sejarah luka dan trauma, perlu mendapat perhatian lebih besar.
Keadilan tidak selalu berarti memberi sama rata, tapi memberi sesuai kebutuhan dan kondisi masing-masing.
Aspek Yuridis: Ada Landasan Hukum yang Kuat
Pemberian Dana Otsus kepada Aceh bukan sekadar keputusan politik tahunan. Ia berakar pada peraturan perundang-undangan yang sah dan mengikat.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 dengan jelas menyebutkan bahwa Dana Otsus diberikan kepada Aceh selama 20 tahun, mulai tahun 2008 hingga 2027.
Lebih lanjut, UU tersebut juga mengatur besaran alokasi: 2% dari Dana Alokasi Umum (DAU) nasional hingga 2022, dan 1% mulai 2023 hingga 2027.
Ini adalah kontrak hukum, bukan hibah semata. Maka, jika pemerintah pusat ingin mengubah skema ini, harus dilakukan secara legal dan dengan kesepakatan bersama. Tidak bisa sepihak!
Apalagi, banyak ahli menilai bahwa alasan pemberian Dana Otsus masih relevan dan tantangan belum tuntas, maka ada dasar kuat untuk memperpanjang atau bahkan meningkatkan jumlahnya.
Aspek Sosial Ekonomi: Antara Harapan dan Tantangan
Selama hampir dua dekade, Dana Otsus telah memberi dampak signifikan di Aceh. Infrastruktur jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit, dan layanan dasar lainnya meningkat.
Beberapa daerah yang dulunya terisolasi kini lebih terbuka. Namun, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap masalah pengelolaan.
Korupsi, pemborosan anggaran, dan lemahnya pengawasan menjadi catatan penting. Tapi, solusinya bukan menghentikan Dana Otsus, melainkan memperbaiki tata kelola.
Pemerintah Aceh perlu berbenah: memperkuat sistem perencanaan, meningkatkan partisipasi publik, membuka transparansi anggaran, dan memperketat pengawasan.
Pemerintah pusat pun harus lebih aktif mendampingi pengelolaan Dana Otsus Aceh, bukan hanya memberikan penilaian dari jauh.
Solusi dan Rekomendasi: Dana Otsus Permanen 2,5% DAU
Melihat kompleksitas dan kebutuhan Aceh yang masih tinggi, sudah selayaknya Dana Otsus diperpanjang bahkan ditingkatkan menjadi 2,5% dari DAU Nasional.
Dana ini harus berlaku secara permanen dengan mekanisme evaluasi berkala, bukan dipotong begitu saja setelah 2027.
Mengapa 2,5%? Karena kemiskinan dan ketertinggalan Aceh bukan hanya masalah fiskal, tapi masalah struktural yang butuh waktu panjang untuk ditangani.
Dengan alokasi lebih besar dan pengelolaan yang lebih baik, Dana Otsus bisa menjadi motor penggerak pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Lebih dari itu, langkah ini akan menunjukkan bahwa negara hadir dan serius membangun keadilan bagi seluruh rakyatnya, tanpa kecuali.
Penutup: Aceh Mengingatkan, Bukan Meminta
Aceh tidak sedang meminta belas kasihan. Aceh hanya sedang mengingatkan, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya, tidak menutup mata pada ketimpangan, dan tidak lelah memperjuangkan keadilan.
Dana Otsus bukan soal angka di kertas anggaran. Ia adalah janji, harapan, dan kesempatan. Kesempatan untuk memperbaiki masa lalu, membangun masa kini, dan menjemput masa depan yang lebih baik.
Jika kita sungguh ingin Indonesia Emas 2045, maka kita harus mulai dari keadilan hari ini. Dan itu berarti, menjaga bahkan memperkuat Dana Otsus untuk Aceh.
Ditulis oleh: Hidayat (wartawan Media MITRABERITA.NET)