DALAM dunia investasi internasional, persepsi adalah segalanya. Dan tak sedikit daerah di dunia yang terbelenggu oleh citra masa lalu, terjebak dalam bayang-bayang sejarah yang tak kunjung pudar.
Namun, malam itu, di sebuah pertemuan resmi di Rumah Dinas Wakil Gubernur Aceh, satu pengakuan mengejutkan dari seorang investor asal Tiongkok mengubah segalanya: “Aceh adalah berlian yang belum dipoles.”
Kalimat ini dilontarkan oleh Lucita, Sekretaris Jenderal Hangzhou Chamber of Commerce Indonesia, yang telah menyaksikan sendiri secara langsung bagaimana provinsi paling barat Indonesia itu kini bangkit, membuka diri, dan bersiap menyambut gelombang baru investasi global.
“Awalnya teman-teman investor dari Hangzhou sangat takut datang ke Aceh,” ujar Lucita blak-blakan, membongkar ketakutan yang selama ini membatasi langkah para pelaku usaha dunia.
Lucita datang bukan hanya sebagai delegasi, melainkan sebagai saksi perubahan. Ia menelusuri Aceh, dari Sabang yang biru hingga daratan yang hijau, dan menemukan kenyataan yang jauh dari narasi lama yang penuh ketegangan.
Di balik cerita masa lalu yang keras, ia menemukan wajah Aceh yang sebenarnya. Wajah Aceh yang ramah, tenteram, dan penuh peluang.
“Saya sudah lebih dulu datang ke Aceh, sempat ke beberapa daerah, termasuk Sabang. Bagi saya, Aceh adalah sebuah berlian yang belum dipoles. Karena itu, saya mengajak teman-teman berinvestasi di Aceh,” tuturnya .
“Awalnya mereka takut. Namun dengan sambutan masyarakat dan Pemerintah Aceh, kami merasa inilah waktu yang tepat untuk datang dan berinvestasi di Aceh,” kata Lucita penuh semangat!
Lucita hadir bersama Mr. Wang, pemilik konsorsium 23 perusahaan besar dari Hangzhou. Ketertarikan Mr. Wang tidak main-main.
Ia mengincar potensi kelautan Aceh seperti cumi, lobster, dan tripang merupakan komoditas unggulan yang masih menunggu untuk diolah dan diekspor dari tanah sendiri, bukan lagi lewat provinsi tetangga.
“Saat ini sudah ada 10 perusahaan yang ingin berinvestasi di Aceh, khususnya di bidang perikanan. Dan nanti akan menyusul sektor agrobisnis,” ungkap Lucita.
Ia juga berharap adanya perjanjian resmi antara Pemerintah Aceh dan Hangzhou Chamber of Commerce, sebagai jembatan legal untuk kolaborasi jangka panjang.
Aceh, di mata para investor Hangzhou, kini tak lagi dipandang sebagai kawasan sensitif, melainkan sebagai peluang emas yang terlambat dikenali dunia.
“Kami merasa, inilah waktu yang tepat untuk datang dan berinvestasi,” ujar Lucita lagi.
Dalam kesempatan itu, ia juga memuji rendahnya angka kriminal di Aceh serta komitmen Pemerintah Aceh dalam menjaga stabilitas dan transparansi.
Namun di balik sorotan lampu malam itu, ada narasi yang lebih dalam dan lebih tua –kisah kejayaan Aceh yang lama terkubur oleh kabut sejarah.
Sebelum era kolonialisme dan konflik bersenjata, Aceh adalah mercusuar kekuatan ekonomi dan spiritual di Asia Tenggara.
Pada abad ke-16 hingga 17, Kesultanan Aceh Darussalam dikenal sebagai kerajaan maritim paling kuat di kawasan.
Pelabuhan di Banda Aceh menjadi pusat perdagangan rempah dunia, menghubungkan pedagang dari Timur Tengah, India, Tiongkok, hingga Eropa.
Sultan Iskandar Muda memimpin Aceh menuju masa keemasan dengan sistem pemerintahan yang terorganisir, kekuatan militer yang disegani, dan jaringan diplomasi yang luas.
Ilmu pengetahuan dan seni berkembang pesat. Buku-buku karya ulama Aceh diterjemahkan ke berbagai bahasa, dan madrasah-madrasah Aceh dipenuhi pelajar dari seluruh penjuru Nusantara.
Aceh juga menjadi gerbang awal penyebaran Islam di Nusantara, menjadikannya pusat spiritual yang tak tergantikan.
Tak heran bila kota ini dijuluki Serambi Mekkah, karena bukan hanya letaknya yang strategis, tapi juga karena kedalaman ilmu dan adab masyarakatnya.
Namun sejarah kemudian berbalik arah. Penjajahan Belanda dan Jepang, disusul dengan konflik bersenjata panjang, memukul mundur semua kemajuan itu. Infrastruktur hancur, ekonomi lumpuh, dan dunia luar kehilangan kepercayaan.
Kini, dengan damai yang telah dipeluk dan semangat pembangunan yang menyala, Aceh bersiap menuliskan kembali kisah kejayaannya.
Kali ini bukan dengan perang bersenjata, tapi dengan investasi, inovasi, dan kolaborasi global yang siap membuka peluang kemajuan Tanah Rencong yang lama tertinggal.
Lucita melihat itu. Dan ia memilih untuk tidak hanya percaya, tapi bertindak. Dalam pandangannya, Aceh bukan hanya berlian, tapi berlian yang akan segera bersinar terang, dan dunia tak bisa lagi memalingkan wajah.
Penulis: Hidayat | Editor: Redaksi