MITRABERITA.NET | Pernyataan anggota DPR RI Benny K. Harman yang menyebut “sikit-sikit MoU Helsinki” dan mengajak Aceh “kembali ke NKRI” menuai kritik dari berbagai pihak.
Salah satunya datang dari Pengamat Politik dan Kebijakan Publik, Dr. Usman Lamreung, yang menilai ucapan tersebut tidak hanya keliru, tetapi juga berpotensi membuka kembali luka sejarah panjang Aceh.
Menurut Dr. Usman, komentar yang disampaikan Benny terkesan sepele, namun bagi masyarakat Aceh, pernyataan itu menyentuh memori kolektif tentang puluhan tahun konflik bersenjata yang menelan ribuan korban jiwa.
Karena itu, MoU Helsinki tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah dan nilai rekonsiliasi yang melahirkannya. “MoU Helsinki bukan sekadar dokumen politik,” katanya.
“Itu perjanjian yang menutup puluhan tahun konflik, mengakhiri duka, dan membuka jalan bagi perdamaian bermartabat. Ketika pejabat nasional menyepelekan maknanya, itu seperti menggugat kembali harga diri yang dibangun dengan darah dan air mata,” tegas Usman.
Ia menilai ucapan Benny yang meminta Aceh “jangan lagi bicara MoU, tapi lihat pembangunan” bukan hanya tidak sensitif, tetapi juga kontraproduktif. Kritik terhadap elite lokal memang perlu, namun penyampaiannya harus memperhatikan konteks historis dan psikologis masyarakat.
“Cara penyampaian seperti itu justru memperkeruh suasana. Alih-alih memperkuat komunikasi pusat-daerah, komentar seperti itu mempertegas kesan bahwa Jakarta belum sepenuhnya memahami makna rekonsiliasi yang melahirkan perdamaian Aceh,” lanjutnya.
Usman menilai dampak pernyataan tersebut terasa nyata bagi sebagian masyarakat Aceh. Banyak yang merasa bahwa MoU yang menjadi dasar penerimaan GAM terhadap NKRI telah diremehkan.
Padahal, MoU Helsinki adalah jembatan utama yang memastikan Aceh tetap dalam bingkai Indonesia dengan rasa adil dan bermartabat.
Ia tidak menolak bahwa pembangunan Aceh masih menyisakan banyak kekurangan, namun persoalan itu, menurutnya, tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan fondasi perdamaian.
“Pembangunan Aceh memang belum sempurna. Namun menyalahkan sejarah damai bukanlah solusi. Yang dibutuhkan adalah dukungan, keadilan, dan ketulusan membangun, bukan sindiran dari pusat,” jelas Usman.
Akademisi dari Universitas Abulyatama itu juga mengingatkan, hambatan pembangunan tidak sepenuhnya berada di tangan Aceh. Banyak kebijakan strategis, alokasi anggaran, hingga perubahan regulasi justru ditentukan oleh pemerintah pusat.
“Karena itu, pembicaraan soal evaluasi otonomi khusus harus dilakukan dengan kepala dingin, data yang objektif, dan komunikasi yang empatik,” jelasnya.
Dr. Usman mengingatkan kepada pejabat nasional untuk menjaga sensitivitas dalam setiap pernyataan terkait Aceh.
“Kata-kata dari pusat bisa menenangkan hati Aceh, atau justru membuka kembali luka yang sudah berusaha disembuhkan. Empati adalah kunci untuk menjaga persatuan dalam bingkai keadilan,” tutupnya.
Editor: Redaksi













