PERSPEKTIF

Dirgahayu TNI: Antara Supremasi Sipil dan Jati Diri Tentara Rakyat

×

Dirgahayu TNI: Antara Supremasi Sipil dan Jati Diri Tentara Rakyat

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi TNI benteng terakhir NKRI. Foto: Google

DELAPAN dekade pengabdian Tentara Nasional Indonesia (TNI) bukan sekadar perayaan seremonial, tetapi sebuah momentum refleksi tentang perjalanan panjang relasi antara negara, rakyat, dan kekuasaan. Dalam usia ke-80 tahun, TNI berdiri di persimpangan sejarah antara idealisme reformasi yang menjanjikan supremasi sipil dan kenyataan demokrasi yang justru memperlihatkan kerapuhan institusi-institusi sipil.

Sejak reformasi 1998, jargon “supremasi sipil” dikumandangkan sebagai tonggak peralihan kekuasaan dari militer ke tangan sipil. Namun dalam praktiknya, semangat itu sering dimaknai secara sempit seolah hanya berarti menyingkirkan peran militer dari ruang publik dan memagari TNI agar tak bersentuhan dengan dinamika sosial dan politik. Padahal dalam teori ketatanegaraan modern, supremasi sipil tidak berarti subordinasi militer secara total, melainkan keseimbangan fungsional antara otoritas politik dan kekuatan pertahanan negara.

Reformasi hukum melalui Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sebenarnya telah memberi batas dan arah yang jelas bahwa militer ditempatkan sebagai alat negara di bidang pertahanan, profesional, netral dari politik, dan tunduk kepada kebijakan politik negara yang sah. Namun ketika elite sipil gagal menunjukkan tata kelola pemerintahan yang efektif dan berintegritas, legitimasi moral reformasi itu sendiri mulai dipertanyakan.

Dua dekade lebih pascareformasi, politik sipil justru tersandera oleh praktek yang inkonstitusional, dimana maraknya politik dinasti, penyalahgunaan hukum untuk kepentingan kekuasaan, serta politik transaksional yang menyingkirkan kepentingan rakyat dari agenda pembangunan. Demokrasi elektoral yang semestinya menjadi instrumen partisipasi rakyat kini sering menjelma menjadi arena perebutan sumber daya ekonomi dan jabatan strategis antar elite, bukan alat pemerataan kesejahteraan.

Kondisi ini mengingatkan kita pada pandangan klasik tentang kontrak sosial yang menegaskan bahwa legitimasi kekuasaan sipil hanya sah sejauh ia mampu menjamin keamanan dan kesejahteraan rakyat. Ketika fungsi itu gagal dijalankan, maka yang terancam bukan hanya legitimasi pemerintahan, melainkan juga kohesi sosial bangsa.

Dalam konteks itulah, TNI tetap memiliki posisi moral dan historis yang unik sebagai tentara yang lahir dari rahim rakyat, tumbuh bersama rakyat, dan mengabdi untuk rakyat. Filosofi “tentara rakyat” bukan slogan romantik masa lalu, tetapi panggilan untuk mempertahankan hubungan organik antara militer dan masyarakat sipil sebagai basis ketahanan nasional.

Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata) menjadi wujud konseptual dari prinsip tersebut. Sishankamrata menempatkan rakyat sebagai kekuatan utama dan TNI sebagai inti kekuatan yang memadukan seluruh potensi bangsa.

Dalam situasi global yang kian kompleks, di mana ancaman tak lagi berbentuk invasi konvensional, tetapi juga perang siber, disinformasi, dan tekanan ekonomi dengan model pertahanan yang bersandar pada partisipasi rakyat menjadi semakin relevan. Namun implementasi konsep ini menuntut TNI untuk hadir secara nyata di tengah masyarakat, bukan dalam bentuk represif, tetapi melalui kerja-kerja sosial, kemanusiaan, dan pembangunan yang langsung menyentuh kebutuhan rakyat.

Penguatan satuan teritorial seperti Komando Rayon Militer (Koramil) menjadi langkah strategis untuk menjembatani peran TNI dalam kehidupan sosial. Koramil adalah wajah TNI di akar rumput, etalase tentara rakyat yang paling dekat dengan denyut kehidupan masyarakat. Agar peran ini optimal, personel Koramil perlu dibekali kemampuan teknis dan sosial yang memadai dimana bintara dengan kualifikasi di bidang kesehatan, konstruksi, olahraga, pendidikan, dan keterampilan komunikasi publik.

Koramil yang kuat dan profesional akan menjadi model kehadiran militer yang humanis yang tidak menakutkan, tetapi menenangkan. Di sinilah nilai-nilai dasar komunikasi kemanusiaan seperti kejelasan, kesopanan, dan empati menjadi sama pentingnya dengan kemampuan taktis militer.

Reformasi TNI memang harus terus berjalan, tetapi juga harus tetap berada di jalur yang proporsional. Militer yang profesional bukan berarti militer yang steril dari masyarakat, melainkan militer yang mampu beradaptasi dengan dinamika sipil tanpa kehilangan jati dirinya sebagai penjaga kedaulatan negara. Begitu pula sebaliknya, supremasi sipil yang sehat bukan berarti mengerdilkan peran militer, melainkan memastikan bahwa seluruh unsur bangsa bekerja dalam satu visi kebangsaan yang sama.

Pada momentum Dirgahayu ke-80 ini, kita diingatkan kembali bahwa kekuatan sebuah bangsa tidak hanya ditentukan oleh modernitas senjatanya, melainkan juga oleh kesatuan moral antara rakyat dan tentaranya. Ketika politik sipil tersesat oleh kepentingan jangka pendek dan demokrasi terjebak dalam ritual elektoral, TNI tetap menjadi simbol keteguhan, kedisiplinan, dan dedikasi yang berakar pada nilai-nilai Pancasila.

Dirgahayu TNI bukan sekadar penghormatan kepada masa lalu, tetapi penegasan bahwa masa depan Indonesia yang berdaulat hanya mungkin terjaga jika tentara tetap setia pada rakyatnya, dan rakyat tetap percaya pada tentaranya.

Ditulis oleh: Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)

Media Online