MITRABERITA.NET | Polemik dana desa di Gampong Sukatani, Kecamatan Kota Jantho, Aceh Besar, kian memanas, setelah aksi penyegelan kantor keuchik pada 28 September 2025 lalu.
Warga kembali meluapkan kekecewaan saat mediasi yang digelar Forum Komunikasi Pimpinan Kecamatan (Forkopimcam) pada Senin 29 September 2025.
Mediasi yang melibatkan camat, Kapolsek, Danramil, Inspektorat, dan Mukim itu dinilai warga tidak transparan. Pasalnya, undangan tidak diumumkan secara terbuka di masjid atau grup WhatsApp gampong, sehingga hanya segelintir yang hadir.
“Kami merasa seperti orang asing di kampung sendiri. Aspirasi masyarakat seakan tidak ditanggapi, justru kami dibuat tersudut,” ungkap Razali, warga Sukatani, dengan nada kecewa.
Dalam pertemuan itu, Forkopimcam bersama Tuha Peut menyetujui usulan mantan keuchik agar Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) enam tahun masa jabatan ditunda hingga 30 Oktober 2025.
Sementara itu, Pemilihan Keuchik Langsung (Pilchiksung) akan tetap berjalan lebih dulu. Keputusan ini sontak menuai kritik tajam. Warga menilai logikanya keliru.
“Keuchik lama saja belum mempertanggungjawabkan dana desa dan aset, kok sudah mau dipilih keuchik baru? Itu seperti menambah utang baru padahal utang lama belum dibayar,” sindir warga.
Menurut warga, aturan sudah jelas mengamanatkan pertanggungjawaban harus disampaikan sebelum masa jabatan berakhir.
Pasal 114 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2009 tegas mewajibkan keuchik menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada Tuha Peut dan masyarakat di akhir masa jabatan.
“Penundaan LPJ itu jelas maladministrasi dan melanggar hukum, sebagaimana UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik,” tegas Razali.
Tidak hanya itu, warga yang merasa tidak puas dengan penundaan itu juga mencurigai penundaan LPJ tersebut sarat muatan politik.
“Kami menduga penundaan ini bagian dari strategi keuchik lama untuk mengamankan dukungan terhadap calon yang ia usung di Pilchiksung nanti,” ujarnya.
Meski merasa kecewa dengan hasil mediasi, warga Sukatani bertekad melanjutkan perjuangan menuntut transparansi dana desa dan aset gampong. Mereka juga menyampaikan apresiasi kepada media untuk terus mengawal kasus ini.
“Kalau tidak viral, aspirasi masyarakat pasti dianggap angin lalu. Kami butuh media untuk mengawal, karena transparansi adalah bagian dari bela negara,” tegas Fahreza, warga lainnya.
Kini, masyarakat menunggu langkah lanjutan Forkopimcan dan pemerintah kabupaten dalam merespons tuntutan warga.
Polemik dana desa Sukatani menjadi pengingat bahwa akuntabilitas keuangan gampong adalah hak masyarakat, bukan sekadar formalitas administratif.
Editor: Redaksi