PALESTINA pernah diakui oleh dunia sebagai Negara yang merdeka, menerima pengungsi Yahudi, lalu dihancurkan dan dijajah oleh pengungsi yang didukung oleh Inggris dan Amerika.
Penjajahan yang berlangsung puluhan tahun membuat rakyat Palestina yang dulunya hidup damai sebelum kedatangan pengungsi yahudi, harus menderita dan kemudian kehilangan pengakuan penuh sebagai negara yang berdaulat.
Kini, muncul kembali harapan melalui sebuah resolusi dua negara yang diprakarsai Arab Saudi dan Prancis di Sidang Umum PBB. Rakyat Palestina kini diberikan pilihan untuk mengambil kembali sebagian tanah air mereka dari Israel.
Sebelum pembentukan negara Israel di bawah pengaruh Inggris dan Amerika Serikat, Negara Palestina berada di bawah Mandat Inggris (British Mandate) setelah Perang Dunia I.
Salah satu tugas utama penduduk Palestina, melalui berbagai organisasi seperti Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), adalah menegaskan hak politik mereka atas wilayah itu.
Pada 1947 PBB mengeluarkan Resolusi 181, yang membagi Mandat Inggris Palestina menjadi dua negara: satu Arab dan satu Yahudi. Pengungsi Yahudi banyak datang ke wilayah itu akibat Holocaust dan Keterbatasan di Eropa.
Rencana pembagian ini mendapat dukungan beberapa negara, tetapi juga ditolak oleh pihak Arab dan Palestina karena mereka merasa pembagian tersebut tidak adil.
Kejatuhan dan Kehancuran Negara
Setelah deklarasi pembentukan negara Israel pada 14 Mei 1948, wilayah yang menjadi Palestina Arab juga menyerah dalam perang Arab–Israel berikutnya. Akibatnya, banyak wilayah yang dikuasai Israel, dan warga Palestina terus hidup di bawah penjajahan.
Sejak tahun 1967 (Perang Enam Hari), wilayah seperti Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur berada di bawah pendudukan Israel yang mendapat dukungan penuh dari Amerika Serikat.
Meskipun rakyat Palestina dan komunitas internasional menganggap wilayah tersebut sebagai wilayah yang harusnya menjadi bagian dari negara Palestina yang merdeka.
Status negara Palestina sempat menjadi masalah simbolik: meskipun ada deklarasi kemerdekaan oleh PLO tahun 1988, serta pengakuan dari banyak negara, Palestina tidak pernah secara penuh diakui sebagai anggota penuh PBB karena tidak memperoleh rekomendasi dari Dewan Keamanan. Palestina memiliki status “pengamat non-anggota” sejak 2012.
Penderitaan Rakyat Palestina
Konflik berkepanjangan telah menyebabkan jutaan warga Palestina mengungsi dan hidup di kamp-kamp pengungsian di negara-negara tetangga seperti Yordania, Lebanon, Suriah, Mesir, dan juga di dalam wilayah Palestina sendiri.
Mereka menanggung dampak kehilangan tanah, rumah, hak milik, dan kesempatan ekonomi. Setiap harinya sejak puluhan tahun lalu, warga Palestina hidup dalam penderitaan dan kapan pun bisa menjadi target pembunuhan.
Dalam beberapa dekade terakhir, peningkatan pendudukan, pembangunan pemukiman (settlements), pembatasan pergerakan, blokade terhadap Gaza, dan konflik militer telah memperparah kondisi kemanusiaan.
Banyak warga sipil Palestina yang kehilangan nyawa, kesehatan, dan sumber penghidupan. Banyak anak-anak, perempuan dan warga lanjut usia yang dibunuh begitu saja oleh militer Israel.
Kebangkitan Resolusi Dua Negara
Menjelang Sidang Umum PBB beberapa waktu lalu, Arab Saudi dan Prancis menginisiasi sebuah deklarasi internasional yang disebut “New York Declaration”.
New York Declaration itu menekankan langkah konkret, batas waktu, dan jalan yang tidak dapat dibalikkan untuk mencapai solusi dua negara antara Israel dan Palestina.
Resolusi ini disahkan secara luar biasa di Sidang Umum PBB dengan hasil 142 suara mendukung, 10 negara menolak, dan 12 negara memilih abstain.
Elemen penting dalam deklarasi tersebut meliputi: Penghentian segera konflik dan kekerasan; Penyerahan senjata oleh Hamas di Gaza agar Pemerintah Palestina memegang kendali penuh atas wilayahnya (termasuk Gaza) dalam mekanisme transisi.
Selanjutnya, Dukungan internasional agar negara Palestina yang merdeka diakui secara resmi, dan agar pembentukan struktur pemerintahan Palestina yang memenuhi prinsip kedaulatan, keamanan, dan pengakuan hukum internasional.
Tantangan dan Peluang ke Depan
Namun, di sisi lain juga ada beberapa tantangan yang menghambat, seperti penolakan dari beberapa negara (termasuk Israel dan Amerika Serikat).
10 negara termasuk Israel dan Amerika Serikat tidak setuju terhadap pembentukan negara Palestina dengan kedaulatan penuh. Apalagi, Hamas juga terus memberikan perlawanan dan tidak mau menyerahkan senjata, karena hingga saat ini penjajahan Israel tidak berhenti.
Ada juga tantangan keamanan dan implementasi yang harus dipikirkan, bagaimana memastikan gencatan senjata, pemulihan infrastruktur, jaminan keamanan bagi warga sipil, hak atas pergerakan, dan pemenuhan kebutuhan dasar seperti air, listrik, kesehatan pendidikan, di wilayah Palestina yang rusak parah akibat konflik.
Namun, dengan resolusi dua negara dan dukungan internasional yang kuat, termasuk dari Prancis dan Arab Saudi, muncul momentum diplomatik baru untuk mendorong pengakuan Palestina di forum internasional, serta percepatan implementasi solusi berdasar hukum internasional.
Inti dari deklarasi baru itu sendiri adalah agar penderitaan yang dialami warga Palestina dapat segera diakhiri lewat jalan damai dan politik yang diklaim oleh Arab Saudi dan Prancis merupakan kesepakatan yang adil.
Saat ini, Palestina masih menjadi negara yang secara nyata belum memiliki kedaulatan penuh. Meskipun pernah diakui sebagian, konflik, pendudukan, dan situasi politik telah membekap hak-hak dasar rakyatnya.
Namun, resolusi PBB terbaru yang digagas oleh Arab Saudi dan Prancis membuka pijakan baru untuk solusi dua negara, sebuah kesempatan yang jika diikuti dengan pelaksanaan nyata bisa menjadi langkah perubahan besar bagi Palestina dan perdamaian Timur Tengah di masa depan.
Ditulis oleh: Hidayat (Sarjana Filsafat Islam UIN Ar-Raniry, Wartawan MITRABERITA.NET)













