PERSPEKTIFUTAMA

Kudeta Kepagian di Jalanan

×

Kudeta Kepagian di Jalanan

Sebarkan artikel ini
Kudeta Kepagian. Foto: Ilustrasi

AKSI unjuk rasa massal yang berujung rusuh antara 28 Agustus hingga 2 September 2025 membuka tabir betapa rapuhnya fondasi politik dan betapa mudahnya demokrasi dibajak oleh syahwat kekuasaan. Demonstrasi yang awalnya menyuarakan tuntutan mengadili Jokowi dan memakzulkan Gibran, tiba-tiba bergeser menjadi seruan membubarkan DPR.

Pergeseran cepat ini bukan sekadar ekspresi spontan massa, melainkan menyingkap adanya operasi narasi yang dirancang dengan cermat. Publik melihat pergeseran itu sebagai tanda demonstrasi rakyat telah dibajak oleh kepentingan politik jangka panjang, sehingga jalannya protes berubah menjadi panggung kontestasi elite.

Fenomena ini sejalan dengan teori Samuel Huntington dan Guillermo O’Donnell yang menekankan bagaimana instabilitas dalam demokrasi baru sering dimanfaatkan oleh kelompok politik untuk mendelegitimasi kekuasaan. Apa yang terjadi pekan lalu memperlihatkan cermin teori itu, dimana sebuah aksi yang sejatinya kanal aspirasi rakyat dimanipulasi menjadi alat pertarungan kekuasaan.

Putra mahkota politik yang sebelumnya digadang sebagai penerus mengalami degradasi legitimasi publik yang serius. Survei Litbang Kompas Juli 2025 menunjukkan tingkat kepercayaan publik kepada Gibran Rakabuming anjlok hingga di bawah 35 persen, level terendah sejak ia masuk panggung politik nasional.

Narasi mengadili Jokowi menjadi ancaman serius bagi jejaring Jokowisme. Maka muncul strategi defensif: mengalihkan sasaran dengan menjadikan DPR sebagai target serangan. Namun strategi itu justru memperlihatkan kepanikan. Seruan “bubarkan DPR” yang disebar melalui buzzer dan jejaring media sosial terkesan sebagai upaya membegal demo, mendaur ulang narasi agar kemarahan publik tidak sepenuhnya diarahkan pada Jokowi dan Gibran.

Alih-alih meredam, langkah itu malah membuka ruang spekulasi adanya grand scenario yang lebih besar: menciptakan chaos, lalu menuntut Presiden Prabowo turun dengan alasan gagal menjaga stabilitas nasional. Pola kerusuhan yang terjadi di berbagai kota juga terlalu seragam untuk dianggap kebetulan. Kantor-kantor polisi yang seharusnya menjadi objek paling terlindungi justru jatuh begitu mudah ke tangan massa.

Laporan lapangan memperlihatkan lemahnya pengamanan di sejumlah titik strategis. Dalam studi keamanan, ini dikenal sebagai calculated disorder, kekacauan yang dibiarkan untuk mempercepat delegitimasi rezim. Kerusakan dan pembakaran terhadap kantor kepolisian di berbagai daerah menjadi indikator bahwa protes sudah keluar dari jalur aspirasi politik normal.

Kerusuhan ini menyerupai skenario kudeta dini yang terlalu tergesa-gesa, sebuah kudeta kepagian. Bahkan sebagian analis menyebutnya sebagai uji coba untuk mengukur kelemahan institusi keamanan negara. Jika kepolisian bisa dilumpuhkan dengan begitu mudah, maka legitimasi pemerintah otomatis dipertanyakan.

Tuduhan bahwa aparat melakukan pembiaran semakin menguatkan dugaan adanya infiltrasi atau setidaknya dualisme loyalitas dalam tubuh negara. Di titik inilah ujian besar datang bagi Presiden Prabowo. Literatur politik transisional dari O’Donnell hingga Levitsky menekankan bahwa respons seorang pemimpin terhadap krisis pertama selalu menentukan arah konsolidasi demokrasi.

Jika Prabowo memilih sikap normatif, publik akan menafsirkan itu sebagai pembiaran. Sebaliknya, tindakan tegas yang berorientasi pada kepentingan rakyat bisa menjadi pijakan untuk memperkuat legitimasi kekuasaannya. Namun persoalannya, Prabowo menghadapi fragmentasi internal yang serius. Lingkaran kekuasaan terbelah antara loyalis istana dan sisa jejaring Jokowisme. Dalam situasi seperti ini, setiap langkah yang diambil presiden akan ditafsirkan sebagai manuver politik, bukan kebijakan kenegaraan.

Sejarah Indonesia memberi pelajaran. Presiden Abdurrahman Wahid tumbang bukan karena lemah legitimasi rakyat, melainkan karena gagal mengendalikan fragmentasi elite dan hubungan dengan DPR. Kini, Prabowo menghadapi situasi serupa, hanya dengan wajah yang lebih kompleks karena peran media sosial dan buzzer yang mempercepat arus informasi sekaligus disinformasi. Dalam era digital, delegitimasi bisa dibangun bukan hanya melalui tindakan politik, tetapi juga lewat manipulasi persepsi publik di ruang maya.

Bagi Prabowo, pilihan itu jelas tetapi berat. Ia bisa bertahan dengan pendekatan normatif, namun risiko dituduh lemah dan melakukan pembiaran akan terus menghantui. Atau ia tampil sebagai negarawan yang berani membersihkan lingkar kekuasaan dari infiltrasi politik ganda.

Dalam berbagai pidatonya, Prabowo selalu mengutip semboyan “datang bersama rakyat, berjuang bersama rakyat, dan selalu bersama rakyat”. Kini semboyan itu diuji. Apakah ia benar-benar berpihak kepada rakyat, atau sekadar menggunakan rakyat sebagai legitimasi retoris.

Publik hari ini tidak membutuhkan pertarungan narasi elite yang membingungkan, melainkan jaminan stabilitas, rasa aman, dan keadilan sosial yang nyata. Indeks Demokrasi Indonesia 2024 yang dikeluarkan BPS mencatat skor hanya 74,45, turun dari tahun sebelumnya. Angka ini menandakan kualitas demokrasi kita justru menurun meski sudah dua dekade lebih pasca reformasi. Jika instabilitas politik 2025 dibiarkan, angka itu bisa merosot lebih jauh, menandai demokrasi yang semakin mundur.

Demo bubarkan DPR yang berujung rusuh pada akhirnya memperlihatkan bahwa Indonesia sedang berada dalam fase kritis, ketika institusi politik tidak hanya kehilangan legitimasi di mata rakyat, tetapi juga dijadikan alat dalam manuver kekuasaan. Kudeta kepagian yang tercium dari skenario ini hanyalah gejala dari persoalan yang lebih mendalam bahwa oligarki politik yang tak segan mengorbankan stabilitas bangsa demi mempertahankan pengaruh.

Jalan keluar satu-satunya adalah keberanian presiden untuk membongkar jaringan itu dan menegaskan kembali keberpihakannya kepada rakyat. Jika tidak, sejarah akan mencatat bahwa pemerintahan Prabowo hanyalah mata rantai berikutnya dari siklus kekuasaan yang rapuh, mudah diguncang, dan mudah dibajak oleh syahwat politik jangka pendek.

Ditulis oleh: Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)

Media Online