MITRABERITA.NET | Konflik berkepanjangan yang dilancarkan Israel terhadap Palestina tidak hanya menimbulkan penderitaan bagi warga sipil di Jalur Gaza, tetapi juga mulai menimbulkan keretakan besar di dalam tubuh militer Israel sendiri.
Sebuah laporan investigasi terbaru mengungkap bahwa ribuan tentara Zionis mengalami gangguan mental serius, bahkan puluhan di antaranya mengakhiri hidup akibat trauma mendalam yang mereka alami selama pertempuran.
Laporan yang dirilis lembaga penyiaran publik Israel, KAN, pada Ahad 3 Agustus 2025 menyebutkan bahwa sejak awal tahun 2025, sedikitnya 17 tentara Israel telah bunuh diri, dan hampir seluruh kasus itu dikaitkan langsung dengan pengalaman traumatis selama perang di Gaza.
“Sebagian besar kasus bunuh diri ini adalah akibat dari realitas kompleks yang diciptakan oleh perang di Gaza. Perang memiliki konsekuensi,” ungkap seorang pejabat senior militer Israel kepada KAN, sebagaimana dilansir kantor berita Anadolu.
Dari data yang dihimpun, sejak dimulainya agresi besar Israel ke Gaza pada 7 Oktober 2023, sekitar 3.770 tentara Israel telah didiagnosis menderita gangguan stres pasca-trauma (PTSD).
PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) atau gangguan stres pascatrauma adalah kondisi kesehatan jiwa yang bisa muncul setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis berat.
Bahkan, dari 19.000 tentara yang mengalami luka fisik, hampir 10.000 di antaranya harus menjalani perawatan psikologis intensif melalui unit rehabilitasi Kementerian Pertahanan Israel.
Kondisi ini disebut sebagai “krisis dalam tubuh militer”, dengan tren kasus bunuh diri yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Tercatat 17 kasus bunuh diri pada 2023, naik menjadi 21 kasus pada 2024, dan kini jumlahnya terus bertambah pada tahun 2025.
Krisis psikologis ini disebut-sebut sebagai efek dari pertempuran yang berlangsung brutal dan penuh tekanan moral.
Banyak tentara menghadapi beban batin berat akibat menyaksikan langsung kematian rekan satu pasukan atau terlibat dalam operasi-operasi yang berujung pada pembantaian warga sipil, termasuk anak-anak dan perempuan.
Sejumlah surat perpisahan yang dianalisis dalam investigasi juga mengungkap penyesalan dan kelelahan mental yang mendalam di antara para prajurit muda.
Sejak agresi militer dimulai pada Oktober 2023, seruan gencatan senjata dari dunia internasional kerap diabaikan oleh Israel yang terus mendapatkan dukungan dari Amerika Serikat.
Serangan yang membabi buta terhadap warga Negara Palestina yang tak berdosa telah menewaskan lebih dari 60.400 orang, yang mana mayoritas korban adalah perempuan dan anak-anak.
Kondisi ini mendorong komunitas internasional untuk mengambil langkah hukum. Bahkan, pada November lalu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) resmi mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Bukan hanya dia, mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant, juga termasuk dalam surat penangkapan itu karena telah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Tak hanya itu, Israel juga sedang menghadapi tuntutan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ), yang diajukan oleh beberapa negara yang prihatin atas pelanggaran berat terhadap hukum internasional di Gaza.
Kondisi mental ribuan tentara Zionis yang kini terguncang dinilai sebagai sinyal kuat bahwa perang bukan hanya menciptakan penderitaan bagi pihak yang diserang, tetapi juga menggerus kemanusiaan dari dalam sistem militer negara penyerang.
Sejumlah analis menyebut, fenomena ini menjadi “bom waktu” bagi pemerintahan Netanyahu, yang kini berada di bawah tekanan dalam dan luar negeri.
Biaya sosial dan psikologis perang, baik bagi rakyat Palestina maupun tentara Israel, telah menciptakan luka kolektif yang mungkin butuh waktu puluhan tahun untuk dipulihkan.
Editor: Tim Redaksi