DINAMIKA

Pengibaran Bendera One Piece Dianggap Teguran Keras untuk Pemerintah

×

Pengibaran Bendera One Piece Dianggap Teguran Keras untuk Pemerintah

Sebarkan artikel ini
Bendera One Piece yang dianggap menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Foto: Ilustrasi - tangkapan layar video medsos

MITRABERITA.NET | Di tengah hangatnya kontroversi pengibaran bendera Jolly Roger dari serial One Piece menjelang Hari Kemerdekaan RI ke-80, muncul pandangan berbeda dari kalangan akademisi.

Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Ade Marup Wirasenjaya, fenomena ini seharusnya dibaca sebagai sinyal kritik mendalam dari masyarakat terhadap kondisi sosial-politik di Indonesia, bukan sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara.

“Pengibaran bendera bajak laut lebih tepat dipahami sebagai bentuk kritik simbolik. Selama bendera One Piece tidak dikibarkan lebih tinggi dari Merah Putih dan tidak dimaksudkan menggantikan posisi simbol negara, saya tidak melihat itu sebagai bentuk penggerusan kedaulatan,” ujar Ade dalam pernyataan yang dikutip dari laman resmi UMY, Senin 4 Agustus 2025.

Ade menjelaskan, penggunaan simbol One Piece justru menunjukkan kreativitas masyarakat dalam menyuarakan kekecewaan. Ia menilai pengibaran bendera bajak laut merupakan bentuk sindiran terhadap elit kekuasaan yang dinilai telah “membajak” makna sejati dari kemerdekaan rakyat.

“Pesannya cukup jelas: kemerdekaan ini jangan dibajak oleh segelintir elit. Istilah bajak laut di sini justru dipakai sebagai metafora teguran,” tambahnya.

Menurut Ade, fenomena ini mengindikasikan semakin sempitnya ruang formal untuk menyampaikan kritik. Dalam situasi seperti itu, masyarakat akhirnya memilih cara-cara simbolik untuk menunjukkan ketidakpuasan terhadap arah kebijakan negara.

Ade menyarankan agar pemerintah tidak gegabah menilai fenomena ini hanya dari sisi pelanggaran simbol. Lebih penting lagi, menurutnya, adalah menggali makna yang ingin disampaikan oleh publik.

“Ini bukan sekadar soal bendera anime. Ini adalah ekspresi sosial yang muncul karena suara rakyat merasa tidak didengar. Pemerintah sebaiknya menjadikan ini sebagai refleksi, bukan hanya reaksi,” jelasnya.

Ia juga menekankan bahwa nasionalisme tidak boleh hanya diukur dari seberapa sering seseorang mengikuti upacara atau mengibarkan Merah Putih, tetapi juga dari sejauh mana negara mencerminkan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan kebebasan dalam kebijakan publiknya.

Peringatan Kemerdekaan, Momentum Evaluasi

Meski memberikan pembacaan yang lebih lunak terhadap aksi masyarakat, Ade tetap mengingatkan simbol negara seperti bendera Merah Putih wajib dihormati sesuai dengan ketentuan hukum.

Ia pun mendorong pemerintah untuk lebih aktif dalam menyosialisasikan aturan mengenai tata cara penggunaan simbol negara.

“Pemerintah perlu bersikap tegas sekaligus bijak. Jangan sampai tindakan pelarangan simbol populer disalahartikan sebagai anti-kritik atau represi,” katanya.

Ade menegaskan, peringatan Hari Kemerdekaan seharusnya menjadi waktu yang tepat untuk mengevaluasi kondisi bangsa. Ia melihat masih adanya kecintaan masyarakat terhadap negeri ini, hanya saja banyak yang merasa aspirasinya tidak diakomodasi secara adil.

“Selama masyarakat masih mau bersuara, berarti mereka masih peduli. Yang mereka harapkan adalah negara yang mau mendengar, bukan hanya membungkam,” pungkasnya.

Editor: Tim Redaksi

Media Online