MITRABERITA.NET | Di tengah upaya pemerintah meningkatkan mutu pendidikan, kabar menyedihkan datang dari Aceh. Dana miliaran rupiah yang seharusnya digunakan untuk mendidik para guru, justru diselewengkan oleh mereka yang diberi amanah untuk mengelolanya.
Kepala Balai Guru Penggerak (BGP) Provinsi Aceh, TW, dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) M, kini harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum.
Keduanya diduga kuat melakukan penyelewengan terhadap pengelolaan anggaran pelatihan guru yang dilaksanakan sepanjang tahun 2022 hingga 2023.
Kasus ini mencuat setelah Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) menemukan indikasi kerugian negara yang fantastis, mencapai lebih dari Rp4,17 miliar.
Anggaran tersebut sebelumnya dialokasikan untuk kegiatan lokakarya Program Guru Penggerak dan Program Sekolah Penggerak, termasuk pelatihan peningkatan kapasitas guru di seluruh kabupaten kota di Aceh.
Namun, kegiatan yang diklaim sebagai pelatihan ternyata penuh rekayasa. Kegiatan diselenggarakan di hotel-hotel dengan skema fullboard meeting, tapi pelaksanaannya jauh dari transparan dan akuntabel.
Alih-alih membekali guru dengan ilmu dan keterampilan baru agar dunia pendidikan lebih baik, dana pelatihan diduga justru dipakai untuk kepentingan pribadi dan kegiatan fiktif.
Pada Kamis 31 Juli 2025, Kejaksaan Tinggi Aceh resmi melimpahkan kasus ini ke Kejaksaan Negeri Aceh Besar, lengkap dengan penyerahan tersangka dan barang bukti.
Dalam kesempatan itu, Jaksa Penuntut Umum langsung melakukan penahanan terhadap TW dan M selama 20 hari ke depan di Lapas Kelas III Lhoknga, Aceh Besar.
Kedua tersangka dijerat dengan pasal-pasal berat, baik dakwaan primair Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor maupun subsidair Pasal 3 UU Tipikor, ditambah pasal tentang penyertaan dan perbuatan berlanjut sesuai KUHP.
Skandal ini menampar keras dunia pendidikan di Aceh. Di saat para guru di pedalaman berjuang tanpa fasilitas memadai, anggaran pelatihan justru dijadikan ladang korupsi oleh pejabat yang seharusnya mendampingi dan memberdayakan mereka.
Kasus ini juga mengingatkan publik bahwa peningkatan mutu pendidikan tidak cukup hanya dengan program dan dana besar. Integritas dan pengawasan yang kuat harus menyertainya. Jika tidak, maka pendidikan hanya akan menjadi proyek, bukan misi mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kini, masyarakat Aceh menanti dengan harapan. Harapan agar keadilan ditegakkan, agar sektor pendidikan dibersihkan dari tangan-tangan kotor, agar kepercayaan guru dan masyarakat terhadap program-program pemerintah tidak sepenuhnya luntur.
Editor: Tim Redaksi









