Cerpen  

Ular dan Gergaji: Kisah Tragis dari Kemarahan yang Buta

Ular dan Gergaji. Foto: Ilustrasi - MB

JAUH dari keramaian manusia, di sebuah hutan yang tenang, hiduplah seekor ular besar berwarna hitam legam. Ia dikenal sebagai makhluk yang penyendiri, tak suka diganggu, dan mudah tersulut amarah. Binatang-binatang lain di hutan itu selalu berhati-hati bila harus melintasi wilayahnya. Bukan karena ia buas, tetapi karena ia terlalu mudah merasa terancam.

Suatu hari, ketika matahari mulai tenggelam dan bayangan pepohonan semakin panjang, sang ular merayap mencari tempat untuk beristirahat. Ia masuk ke sebuah gudang tua di pinggir hutan yang sudah lama ditinggalkan manusia. Di dalam gudang itu gelap dan sunyi, tempat yang menurutnya sempurna untuk bermalam.

Tanpa disadari, di salah satu sudut gudang itu ada sebuah gergaji tua, berkarat, namun masih cukup tajam. Ular itu tidak memperhatikan benda itu. Ia tak tahu bahwa benda itu bukan makhluk hidup, bukan pula musuh.

Saat ia menggeliat mencari posisi yang nyaman, tubuhnya tanpa sengaja menyentuh mata gergaji yang tajam. Merasa sakit dan mengira ada yang menyerangnya, ular itu seketika melingkar dan menggigit ke arah rasa sakit itu. Ia menggigit gergaji tersebut sekuat tenaga.

Giginya menghantam logam tajam. Luka pertama muncul. Tapi kemarahannya membutakan logika. Ia merasa diserang, padahal rasa sakit itu adalah akibat dari tindakannya sendiri. Semakin ia menggigit dan menyerang, semakin dalam pula luka yang ia ciptakan di tubuhnya sendiri. Darah mulai mengalir, menetes di lantai gudang.

Namun sang ular tidak berhenti. Dalam pikirannya, ia sedang bertarung melawan musuh yang kuat. Ia terus menggigit, membelit, bahkan mencoba menghancurkan “musuh” itu dengan seluruh kekuatannya. Tapi gergaji itu tetap diam, tak bergerak. Dan setiap serangan hanya membuat luka di tubuhnya semakin parah.

Akhirnya, setelah sekian lama bertarung melawan benda mati yang tak bisa disalahkan, tubuh ular itu lemah. Napasnya tinggal satu-satu. Darahnya membasahi lantai, menggenang di sekitar tubuhnya yang mulai dingin. Ia mati bukan karena lawan yang kuat, tapi karena kemarahannya sendiri.

Keesokan harinya, seekor burung hantu terbang masuk ke gudang tua itu. Ia melihat pemandangan memilukan, seekor ular besar tergeletak tak bernyawa di samping sebuah gergaji tua. Tak ada yang memahami mengapa itu bisa terjadi, kecuali satu hal: sang ular telah membunuh dirinya sendiri karena kemarahan yang tak terkontrol.

Pelajaran dari Sang Ular

Kisah tragis Ular dan Gergaji ini menyimpan makna mendalam yang bisa kita renungkan. Ular itu tidak mati karena ada musuh yang lebih kuat darinya. Ia mati karena tak mampu mengendalikan emosinya. Ia tidak mengenali apa yang ia serang. Ia bertindak karena asumsi, bukan kenyataan. Ia memilih melawan rasa sakit dengan kemarahan, bukan dengan kebijaksanaan.

Sering kali dalam hidup kita juga bertindak seperti sang ular. Saat merasa disakiti, dikhianati, atau dilukai, kita langsung bereaksi. Kita menyerang balik, tanpa mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kita membiarkan amarah menguasai hati dan pikiran, hingga keputusan yang kita buat menjadi bumerang bagi diri sendiri.

Banyak hubungan hancur bukan karena masalah besar, melainkan karena emosi kecil yang dibesar-besarkan. Banyak kata terucap yang akhirnya disesali, hanya karena tak mampu menahan kemarahan sesaat. Banyak luka batin tak tersembuhkan karena kita memilih membalas, bukan memaafkan.

Ular itu bisa saja memilih menjauh, atau memeriksa lebih dulu apa yang menyakitinya. Tapi ia memilih menyerang. Dan dalam serangan itulah, ia justru mengakhiri hidupnya sendiri.

Kendalikan Amarah!

Dalam dunia yang serba cepat dan penuh tekanan ini, kita dituntut untuk lebih bijak dalam mengelola emosi. Kemarahan adalah hal yang wajar. Ia adalah bagian dari manusia. Tapi membiarkan kemarahan mengambil alih kendali, bisa berakibat fatal.

Ketika kita marah, tarik napas sejenak. Bertanyalah pada diri sendiri: apakah yang kita rasakan adalah kenyataan atau hanya asumsi? Apakah tindakan kita akan menyelesaikan masalah, atau justru memperburuk keadaan?

Jangan sampai kita menjadi seperti sang ular, berakhir tragis hanya karena gagal membedakan antara bahaya nyata dan rasa sakit sesaat. Marah itu manusiawi. Tapi bijak dalam marah, itu luar biasa.

Dan kisah sang ular akan selalu mengingatkan kita, bahwa terkadang, musuh terbesar bukanlah yang ada di luar sana, tapi yang bersembunyi di dalam diri. Semoga kita lebih bijak dalam bertindak.

Ditulis oleh: Hidayat (Wartawan Media MITRABERITA.NET)