MitraBerita | Diakui atau tidak, Provinsi Aceh masih mengalami persoalan dalam hal pengentasan kemiskinan. Terbukti, Aceh masih berada pada garis kemiskinan bahkan masuk dalam kemiskinan ekstrem.
Berdasarkan data terbaru yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, kemiskinan Aceh memang sedikit menurun dari 14,45 persen pada Maret 2023 menjadi 14,23 persen pada Maret 2024.
Namun, kemiskinan ekstrem di daerah bekas konflik bersenjata tersebut masih tergolong tinggi walaupun anggaran yang dikucurkan pemerintah pusat sangat besar sejak perdamaian tahun 2005 lalu.
Akademisi Universitas Syiah Kuala (USK) Dr Amri mengatakan, harusnya setiap perusahaan yang berada di Aceh wajib berkontribusi terhadap upaya penurunan kemiskinan dan kemiskinan ekstrem.
Dalam wawancara dengan wartawan MitraBerita, Rabu 31 Juli 2024, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK itu menjelaskan, ada tiga pelaku ekonomi dan bisnis di Indonesia. Pertama Negara, kedua Swasta dan ketiga UMKM dan Koperasi.
“Negara melakukan kegiatan ekonomi melalui BUMN atau BUMD, Swasta melalui usaha Konglomerasi Oligarki Bisnis dan usaha kecil menengah,” kata Dr Amri.
Pemegang sertifikat Planning and Budgeting dari Graduate Research Institute for Policy Studies/GRIPS Tokyo Jepang tersebut mengatakan, ketiga pelaku ekonomi dan bisnis bisa bergerak di bidang pertambangan/ekstraktif/eksploitasi sumber daya alam, bidang agraris, manufacturing, perdagangan dan jasa.
“Ketiga pelaku bisnis yang berada di Provinsi Aceh sudah selayaknya memperhatikan keadaan sosial dan lingkungan di sekitar perusahaan, terutama kemiskinan ekstrem,” tegasnya.
Dr Amri menuturkan, kontribusi perusahaan dalam hal penghapusan kemiskinan ekstrem yang ada di lingkungan perusahaan bisa melalui CSR.
“Jika hal itu dilakukan secara rutin dan serius, maka akan sangat membantu Pemerintah Aceh dalam pengentasan kemiskinan ekstrem di Aceh,” tandasnya.